Orang Minahasa Mesti Tahu
Manguni adalah simbol hewan yang diistimewakan  oleh orang Minahasa sejak jaman dahulu sampai sekarang.
Mengapa demikian? Dalam paparan lanjutan buku Penguasa Dinasti Han Leluhur Minahasa, Â Weliam H Boseke menjelaskan sebagai berikut: nama "manguni" berasal dari bahasa Han. Dalam teks literatur bahasa Han, burung manguni dihubungkan dengan keadaan bright = cerah atau cemerlang. Kata WANG YUN = MA WANG YUN NE, artinya: sudilah memberi tanda cemerlang atau cerah. Dalam bahasa Minahasa MAWANGUNE = MANGUNE = MANGUNI.
Ketika Pemimpin Upacara/ritus adat Minahasa  Walian (Hua li an) memanggil  Manguni, burung itu akan menanggapi panggilan tersebut dengan berbunyi dari kejauhan, lalu Walian akan memintanya mendekat seraya berseru: "Mangune". Ketika burung itu mendekat dan menjawab dengan berbunyi merdu 9 , Walian berseru: "Siou pa siow wan".  berasal dari bahasa Han "jiu pa jiu wan" = 9 890  000 = sebagai  ungkapan derajat tertinggi leluhur raja (Xian Wang = Sien Bong/pung)
Ada istilah lain untuk menyebut burung manguni ini berdasarkan bunyinya. Totosik. Ternyata bunyi ini berasal dari bahasa Han Ma tou ying si = Ma to tou ing sik. Menjadi "Ma to to sik" dalam bahasa Minahasa, yang berarti "burung manguni berdesis".
Dengan cara ini burung owl (Inggris) memberi peringatan akan adanya bahaya. Bahasa Han terkini Mandarin memberi nama owl atau burung hantu ini dari aktivitas memberi tanda negatif, yaitu "mao tou ying siik".
Sedangkan Minahasa Han memberi nama owl ini dari aktivitasnya memberi tanda positif. MA WANG YUN NE = mawangune = Mangune = Manguni.
Namun bahasa Minahasa juga memberi nama owl dari aktivitasnya memberi tanda negatif. Ketika burung berbunyi tidak merdu atau suara meluncur turun (sliding down), owl disebut "lo yot", pertanda ada malapetaka atau kematian.
Mungkin nama "burung hantu" berasal dari aktivitas penanda dan tanda (negatif) yang dibunyikan dan ditafsirkan masyarakat umum.
Padahal orang Minahasa (dari etimologi bahasa Han!) justru sudah lebih dulu memberi nama resmi dan positif pada burung ini, tanpa menutupi sisi lain dari semiotik dan semantik yang melekat erat dalam tafsir simbol dan makna masyarakat Minahasa kuno.
Jadi, boleh dinyatakan bahwa leluhur Minahasa selalu berusaha melihat realitas apa adanya sekaligus melampauinya dengan wawasan dan kedalaman akal dan batinnya. Leluhur manusia Minahasa tidak pernah mau membiarkan diri dan peradaban kaumnya terjebak dalam struktur tampilan lahiriah melainkan selalu berani memprofilkan dirinya sejelas dan semurni mungkin, memaknai, dan bertindak transformatif secara gradual sirkuler dengan selalu sadar akan masa lalu demi masa depan!
Dalam Seminar Bedah Buku "PENGUASA DINASTI HAN LELUHUR MINAHASA, bertempat di INSTITUTE KALBIS, Budayawan Dr. Beni Matindas menjelaskan permenungan kegeniusan lokal leluhur Minahasa seakan mengental padat berisi manakala dikisahkan dalam National Geographic bahwa burung Manguni pernah menempati piramida tertinggi dalam struktur hewan dewata pada masa awal kerajaan2 di negeri Tiongkok.