Mohon tunggu...
Steeps_Maayy05
Steeps_Maayy05 Mohon Tunggu... Lainnya - Part of AWWriters

Hi, i'm a newbie in here. I need to explore my oppinions in here, don't forget to follow me for the next experience on my writing. Big love, from author ♥️♥️♥️

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ketika Cermin Hancur, Semuanya Buyar

15 Januari 2021   06:10 Diperbarui: 15 Januari 2021   06:40 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

CERMIN REFLEKSI DIRI

"Orang yang berakal (cerdik) apabila melakukan kesalahan akan meminta maaf. Orang yang bodoh bila melakukan kesalahan akan berfalsafah (mempertahankan kesalahannya)." (Imam Asy-Syafi'e).

            Pernyataan tersebut cukup menggambarkan sekelumit refleksi diri dalam cermin, dari sudut pandang semu. Setiap gerakan kita, tentu terjadi pergeseran antara batin dan tingkah laku. Sehingga, bisa saja menipu khalayak ramai dengan tingkah laku yang bisa kita sebut sebagai topeng. Sama halnya seperti refleksi, namun tidak serta-merta harus seiras dengan apa yang ditampilkan. Batin juga memiliki keleluasaan untuk merangkap semua hal. Banyaknya kelimun yang tidak mengenali hal tersebut, sampai akhirnya membuat mereka kelimpungan menghadapi "mereka" yang terjebak akan semua fana yang ada.

             Bukan tanpa arti, melainkan fana yang mulai mengeksekusi jati diri menjadi sebuah sosok yang dibayangkan melalui refleksi benak. Berkaca, berteriak, lalu meraung sesal yang tak kunjung mereda membuat diri semakin merasa tertarik dengan eksistensi tanpa batas milik orang lain. Seni cerminan diri seolah tak dihiraukan oleh kelimun, hingga tersesat dalam jarak yang tak ditentukan. Gelak tawa remeh menyusuri jalanan buntu, mereka yang tersesat mengikuti alur malah menampilkan tawa hampa yang tiada arti. Tak ada amunisi untuk merapalkan doa, hingga tersadar tak ada siapa pun yang peduli, kecuali diri.

            Diri yang siap siaga, diri yang mengubah, dan diri pula yang menyesatkan. Refleksi bayang seolah tak mau tampak di permukaan, cemooh yang terus mendera menikam sukma hingga, lara timbul sebagai rasa yang mampu sebagai jalan untuk pendewasaan diri.

RETAKAN ESTETIS

"Mural teriak murung dalam satu, empat kata siapa yang tahu?"~Steeps_maayy05~

            Untuk mencernanya, diperlukan tenaga ekstra supaya dipahami lebih jelas mengenai makna dalam kalimat tersebut. Sebuah mural tak mungkin dapat berteriak lepas saat kelimun nyalang di hadapannya, bahkan mural terlihat kokoh, bagai pemilik kuasa dalam tahta emas miliknya. Namun, tak ada yang tau bagaimana rasanya disuguhi tatapan yang luar biasa garib. Tak heran jika semua dihadapannya terlalu pelik untuk dicerna, hingga menimbulkan rasa-rasa aneh yang bergelayut manja dalam benak. Pada akhirnya, tak ada yang peduli pada yang meraung sendu, walaupun ia sudah lama  menyuarakannya.

            Lara yang datang semakin menjadi. Bahkan telah lama merana dalam sekat-sekat ruang hampa. Sembilu yang menarik ulur tak pernah absen dari ruas barisan relung, menjelma menjadi luka abadi yang tak ingin terulang lagi dalam dunianya. Hingga ia mencari-cari kesempatan yang tepat untuk menyuarakan kelantangan yang tak pernah terungkap. Hal ini membuat dimensi yang ada dalam diri semakin berongga, sekat-sekat semakin menguat untuk membentuk diri yang tahan banting tanpa harus menunggu belas kasih para kelamun.

            Berdiri tegap, di atas kertas putih. Lalu tercoret karena cercaan panas milik kelamun yang hilir mudik seolah benar. Padahal, jelas tak ada yang tau siapa yang benar, tetap saja dengan keji merendahkan jiwa makhluk hidup sekitar. Tak heran jika mulut cabai mereka dengan mudahnya menghasut, hingga menghasilkan hinaan yang membuat diri terpukul mundur. Tak ada waktu untuk menunggu, hanya perlu sebuah eksistensi diri untuk menyatakan sebuah kebenaran. 

            Mula-mula cermin diri memiliki sedikit retakan sampai pada akhirnya, mereka memiliki retakan parah. Akibat ego diri yang selalu saja menganggap semua akan baik-baik saja. Ah, omong kosong! Semua itu tak akan terjadi jika ego itu direndahkan hingga pada akhirnya sadar, retakan itu memunculkan cahaya fana yang tak diketahui dari mana asalnya. Namun hanya diri yang mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Benak terlalu rumit untuk diraba, hingga banyak yang nyalang. Tak ada yang mengerti dari satu, atau empat ayat dalam benak yang terus menerus disuarakan menjadi cermin tak elok dipandang secara keseluruhan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun