Bau asap menggebu, memasuki sudut-sudut rumah, ketika pagi beranjak. Curiga sana-sini, mungkin ada yang terbakar, nyatanya bersumber dari tetangga di batas perumahan, yang membakar sampah.
Sesak menyeruak di musim kemarau, Bandung terkadang dingin, tapi lebih banyak panasnya. Debu-debu beterbangan, ketika angin bertiup kencang. Meniup daun-daun kering, dan memindahkannya, setelah melayang-layang, bertebaran searah angin melaju.
Membakar sampah, selalu berulang, mungkin gatal tangannya ketika melihat daun-daun kering yang menggunduk di sana-sini. Seharusnya, sampah dikumpulkan di satu tempat, kemudian petugas khusus akan mengambil dan mengangkutnya ke tempat pembuangan sampah.
Biasanya ibu-ibu banyak yang tak sabar, inginnya cepat bersih, tak mau lihat sampah-sampah berserakan.
Kurangnya sosialisasi, terbukti belum membuminya peraturan mengenai larangan membakar sampah, yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2008 dan Peraturan Daerah (Perda) No. 5 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Dampaknya jelas, akibat dari asap pembakaran sampah yang marak dilakukan, akan berdampak serius pada gangguan kesehatan, dari mulai sesak napas hingga radang paru-paru.
Gas-gas pencemar udara yang berasal dari asap pembakaran dapat melepaskan gas karbondioksida dan klor yang menjadi penyebab polusi udara dan merusak lapisan atmosfer.
Miniatur kebakaran hutan, selayak di Sumatra dan Kalimantan, begitulah situasinya. Beberapa alasan terjadinya kebakaran hutan, mungkin semisal isengnya orang-orang yang tak bertanggungjawab, membuka lahan baru dengan cara membakar, meninggalkan bara api sisa api unggun atau puntung rokok menjadi penyebabnya.