Surga Dunia. Tepatnya di Kota Semarang. Di sanalah ada rasa bahagia, tulus dan merasa lebih, diperlukan. Paling tidak, itu menurut Om-ku!
Sejak kepergian Tante menghadap Sang Pencipta, beberapa tahun silam, segalanya telah berubah. Tak ada lagi sapa, senyum menawan dan tempat berbagi.
Anak-anaknya telah pergi, menikah dan hidup di dunianya masing-masing, di luar Kota. Ada satu anak, silsilahnya adik sepupu-ku, tinggal di rumah besar, rumah keluarga besar Om. Namun, rumah tetap sepi, tiada lagi keceriaan dan kesemangatan.
Bagi Om-ku, yang pensiunan pejabat pertanian, tak ada istilah diam. Selalu saja ada yang dikerjakan, baik di dalam pikiran maupun di luar. Maksudnya, otak tak pernah dibiarkan sia-sia tak bekerja. Banyak rencana-rencana dan motivasi yang ada di kepalanya. Begitu pula, tangan tak dibiarkan diam lunglai.
Tahun lalu, 80 tahun usia terlewati. Artinya 81 dan seterusnya adalah hari-hari yang akan dilaluinya. Usia renta, bagi anak-anaknya adalah saat di mana Sang Ayah harus duduk manis dan hanya menunggu waktu.
Bagai burung dalam sangkar emas. Om-ku membisikkan suara hatinya, menanggapi tawaran anak-anaknya yang tinggal di Cilacap dan Bogor. Bahkan, sepupuku yang di Bogor, telah membuatkan kamar khusus untuk ayahnya.
Entahlah, di Bogor Om-mu mungkin hanya berkunjung, dan disinilah dunia yang sebenarnya, katanya lirih. Di sini, maksudnya di sebuah Panti Asuhan Anak, di Kota Semarang.
Di sanalah, ada sesuatu yang mungkin tak dimengerti oleh kebanyakan orang. Tugasnya, mengantar belanja harian untuk makan anak-anak panti, mengasuh dan memberi pelajaran khususnya pendidikan mental spiritual. Ada sekitar 30 anak panti dan beberapa karyawan yang tinggal.
Semua anak-anak bersekolah dari SD hingga SLTA, di luar panti. Setelah lulus, mereka diserahterimakan kepada keluarganya, dan diarahkan untuk bekerja.
Kesempatan emas, jumpa Om-ku, merupakan kilas balik setelah puluhan tahun langka bersua, karena tinggal dan bekerja di Kota Bandung.