Mohon tunggu...
Sherlyn Sean
Sherlyn Sean Mohon Tunggu... Pelajar -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Keadaan di Indonesia Sesuai dengan Moto "Bhineka Tunggal Ika"?

12 Maret 2018   12:58 Diperbarui: 12 Maret 2018   13:15 2693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

'Bhinneka Tunggal Ika' memiliki arti 'Berbeda-beda tetapi tetap satu' . Kalimat ini adalah semboyan bangsa kita, bangsa Indonesia. Tapi apakah semboyan ini benar-benar mencerminkan kehidupan realita kita? Apakah seluruh penduduk Indonesia dapat menerima keperbedaan SARA yang ada di Indonesia ini?

SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Tindakan --tindakan melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat digolongkan sebagai tindakan SARA.

Indonesia adalah Negara yang memiliki beragam perbedaan. Perbedaan itu biasa juga bisa kami kelompokkan menjadi  suku, ras, agama dan golongan. Hal ini disebabkan oleh letak geografis Indonesia yang strategis, dimana Indonesia diapit oleh dua benua (Asia dan Amerika) dan dua Semudera (Pasifik dan Indonesia). Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi jalur perdagangan dimana orang-orang dari berbagai Negara datang untuk berdagang.

"Indonesia memiliki banyak perbedaan, tetapi Indonesia tetap bersatu dan menjunjung tinggi perbedaan tesebut." Bahkan Pak Jokowi pun pernah mengatakan"Kita ini berbeda-beda, ya biarkan berbeda-beda. Tidak usah harus dipersamakan. Tidak usah." Kedua kalimat ini sering sekali kita dengar.

Tapi hal tersebut tidak pernah benar-benar diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan di Indonesia ini. Sekarang ini, banyak kasus-kasus mengenai kekerasan SARA yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan data dari Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, jumlah konflik SARA pada tahun 2015-2016 mencapai 1568 kejadian.

Salah satu contoh kekerasan yang bermuatan SARA yang pernah terjadi pada 2017, 20 panitia bedah buku menyebarkan pamflet berbau SARA. Dimana salah satu orang tersebut merupakan mantan narapidana teroris yang pernah meracuni polisi di Aceh dan seorang lagi merupakan teman dari teroris pelaku bom bunuh diri di Masjid Polresta Cirebon.

Penangkapan tersebut bermula dari beredarnya pamflet di media sosial tentang acara bedah buku bertema "Membentengi Aqidah Ummat dari Bahaya Permutadan". Namun, pamflet yang beredar tersebut bernada provokatif, hasutan, dan menyudutkan agama tertentu. 

Kegiatan bedah buku yang tadinya akan dilaksanakan tersebut diduga berbau SARA dan menyudutkan agama tertentu. Dari penangkapan tersebut, 20 panitia bedah buku terancam Undang-Undang 11 Tahun 2009, yakni Pasal 45 ayat 2 terkait tindakan penghasutan dan penebar kebencian.

Mereka yang melakukan kekerasan SARA tidak mengetahui bagaimana caranya menghargai perbedaan yang kita miliki. Padahal sebagai warga Negara Indonesia, kita harus tetap menjaga kesatuan NKRI. Kita tahu bahwa Negara Indonesia memiliki banyak sekali perbedaan dari suku, hingga ras dan agama.

Maka itu, kita harus tetap menjunjung tinggi keperbedaan itu dan juga mengingatkan orang-orang di sekitar kita untuk melakukan hal yang sama. Tapi ingat, pastikan dirimu sudah berubah terlebih dahulu sebelum mengubah orang lain karena perubahan itu dimulai dari diri kita sendiri. Bhinneka Tunggal Ika! Kami berbeda tapi tetap satu!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun