Mohon tunggu...
Irul
Irul Mohon Tunggu... Guru - xxxxx

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

ILC, Kecebong, Kampret, dan Kalimat Palsu

1 Maret 2019   23:55 Diperbarui: 2 Maret 2019   00:23 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seperti orang lain, saya juga suka menonton ILC, menyaksikan  presiden Karni Ilyas, dengan suara khasnya bertanya, menginterogasi serta memancing polemik para nara sumber dan para pakar terhadap hot isu yang menjadi topik acara.

Saya juga menikmati, bagaimana sang presiden ini bisa-bisanya "memaksa" tokoh-tokoh petinggi negri melepaskan baju formalitas mereka untuk bertarung gagasan, menyampaikan klarifikasi, menguras pengetahuan, sampai menghadirkan emosi bak sidang terbuka yang jujur, obyektif dan juga acapkali jenaka.

Mencerahkan dan menghibur, itulah yang saya dapatkan dari ILC. Dari ILC saya jadi mengerti betapa peliknya masalah hukum. Misalnya dalam kasus kematian Mirna. Bagaimana Jessica bisa dihukum walaupun tidak ada saksi yang melihat dia memasukkan sianida kedalam gelas yang diminum sang korban. Saya jadi tahu betapa penuh rekayasanya "permainan yang diatas" dalam kasus Cicak melawan Buaya. Sebuah permainan yang ngeri-ngeri sedap.

Walhasil, ILC menjadi acara yang dinanti. Menjadi rujukan utama bagi yang ingin tahu cerita dibalik berita-berita hot. Dalam perjalanan waktu, kepopuleran ILC telah membuatnya menjadi panggung yang dicari.

Para tokoh politik sadar betul bahwa ILC adalah wadah paling efektif .untuk menyampaikan "duduk perkara yang sebenarnya", karena masyarakat sudah terlanjur percaya. Tak pelak, panggung itu sangat dirindukan oleh mereka. Panggung paling prestisius buat unjuk kebolehan acting.

Kini, musim kecebong dan kampret telah tiba. Saya katakan "musim" karena saya yakin setelah April mendatang populasi mereka akan menyusut drastis.  Kalaupun nanti ada beberapa yang tersisa, katakanlah itu cuma kecebong dan kampret salah musim. Memang begitulah alam mengatur dirinya.

Apa saja yang sedang musim, tentu menjadi viral. Dan bagi ILC, viral berarti hot isu yang sedang berkembang. Sensasinya menggoda untuk dijadikan topik layak tayang. Maka kerumunan kecebong dan kampretpun diundang untuk memenuhi panggung ILC. Pucuk dicinta ulam tiba.

Lantas, apa yang terjadi? ILC jadi berisik. Perdebatan kecebong dan kampret bukan hangat, tapi panas. Subyektif tidak ketulungan. Saling sindir, bahkan memaki dengan kata-kata yang tidak layak diucapkan didepan publik. Aroma pencitraan sangat menyengat, penuh dengan kalimat-kalimat palsu. Kalimat-kalimat bijak tokoh netral yang hadir seperti tenggelam dalam keriuhan suara kecebong dan kampret.

Kalimat palsu adalah strategi verbal orang-orang yang takut. Dalam kasus kecebong dan kampret, mereka hanya mengutarakan pikiran dengan menggunakan frasa-frasa yang disusun karena takut jagonya kalah. Mereka menyensor diri dengan topeng kata-kata. Lama kelamaan topeng tersebut melekat dengan wajah. Dan orang bisa tak menyadari mana topeng dan mana wajahnya sendiri. Oleh karena itu, kini, perdebatan kecebong dan kampret di ILC mudah sekali ditebak siapa mau bicara apa.

Tentu saja saya tidak memiliki kompetensi untuk menilai mutu topik yang diangkat oleh ILC. Tapi saya bertanya-tanya, sejauh apa gentingnya isu Perang Total dan Perang Badar dibanding dengan isu friksi antara KPK dan Polri dalam Cicak melawan Buaya yang begitu mencekam masyarakat dan mengancam upaya pemberantasan korupsi di negri ini? Nalar anak SMP pun paham bahwa Perang Total dan Perang Badar hanya retorika supporter dalam suatu pertandingan. Tak lebih dari olok-olok antara remaja Bobotoh dengan Jackmania. Pemilu hanya ribut di medsos, kata Pak JK.

ILC sudah menjadi semacam lembaga tak resmi yang sangat disegani. Dia menjadi terlalu besar. Diperlukan kaki yang kuat untuk menopang tubuhnya. Tanpa itu, dia akan terserang penyakit sukses pada umumnya: kepekaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun