Mohon tunggu...
Slamet Riyadi
Slamet Riyadi Mohon Tunggu... -

Saya mantan jurnalis, yang masih setia bergelut dengan jurnalisme. Khususnya jurnalisme yang berempati kepada kemanusiaan dan kesetaraan. Dari para blogger saya ingin belajar banyak soal empati itu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sajak Seorang Mantan Mahasiswa Mengenang Profesornya

19 Oktober 2014   03:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:31 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Prof, ketika pertama kali aku menjadi mahasiswamu aku selalu berebut tempat duduk dengan temanku agar bisa di depan menyimak uraian ilmumu yang terbentang luas dari A sampai Z,  sampai mulutku ternganga dan aku lupa menutupnya.

Prof, sejak aku terpukau kepada gaya mengajarmu dengan bahasa sederhana, bahasa tubuhmu yang bergerak bukan karena citra tapi dari kedalaman jiwa. Itu semua nampak dari cara berpakaian juga sepatumu, yang sering tak disemir. Tas kainmu yang lusuh diisi penuh buku pertanda kau kaya ilmu dan tak segan membaginya kepada para mahasiswamu.

Prof, aku ingat kala kau baru lulus sekolah doktoralmu di Amerika, tak setitik pun kau pamerkan gaya Yangkee dibumbui cas-cis-cus Amrik agar tampil lebih menarik. Tapi kau amat  gaul sehingga disukai para mahasiswi. Meski kau jauh dari gaya playboy.

Prof, kedekatanmu dengan para mahasiswa sehingga sebagian kolegamu tak suka, serta abaimu pada tatanan birokrasi itu barangkali yang membuatmu lama memperoleh gelar profesor. Dan kau seperti tak peduli. "Tugasku mengajar, bukan mengejar gelar," katamu sambil lalu.

Prof, aku ingat waktu aku bertanya keras mengkritikmu,  kulihat kau menanggapinya dengan sambil melempar senyum. Sedikit pun tak kau tunjukkan rasa tersinggung. Dan menjawabnya dengan santun. O aku malu melihat diriku yang sok tahu.

Prof, ketika aku berkunjung ke rumahmu berkonsultasi -sesuai saranmu- tentang mata ilmu yang kau ajarkan kepadaku, kurasakan kehangatan yang bersahaja tumbuh di keluargamu. Tak ada berbagai macam basa-basi di ruang beranda rumahmu. Kau menyambutku bukan sebagai tamu tapi bagian dari keluargamu.

Prof, kau selalu menekankan kepada mahasiswamu bahwa kejujuran nomer satu. Bahkan ketika menuliskan atau menyiarkan ilmu jangan satu zarah pun data atau kebenara kau palsukan. Katakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah meski dunia akan  tumpah.

Prof, kau selalu bilang jangan jadi plagiator apalagi koruptor agar segala sisi hidup jauh dari kotor. Kau katakan itu berulangkali dengan getaran hati. Apalagi ketika beberapa sahabatmu yang sama-sama bergelar profesor ternyata tertangkap tangan, dan digiring ke bui mengenakan baju koruptor.

Prof, ilmu hidupmu -kanti kelakone laku- itu amat susah dipraktekkan di negeri yang penuh sesak kepalsuan ini. Orang yang mengaku kiai saja bisa mudah tergelincir masuk bui. Tak banyak lagi  satunya kata dengan perbuatan. Tak ada lagi tauladan seperti yang kau ajarkan dan terapkan.

Prof, aku selalu terkenang derit rintih sepeda onthelmu yang kau kayuh menuju dan pulang dari kampus rakyat (yang menurutmu mulai melupakan rakyat). Derit itulah salah satu suara saksi di mana pesepeda dan pejalan kaki dipinggirkan hingga  tak bertepi. Tapi kau tak nyinyir meratapi.

Prof, aku akan selalu mengenang segala kebajikan, kelurusan, kejujuran yang mengolah hidupmu menjadi terang. Aku ingin meniru dan menyampaikannya kepada generasi mendatang. Dalam hidupku kau sosok tak tergantikan. Meski kau tak pernah  peroleh penghargaan, apalagi berasal dari yang sekedar disebar di akhir masa jabatan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun