Mohon tunggu...
Rosa Sri Widiyati
Rosa Sri Widiyati Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswi

Stay unique, be different, and don't change your ways.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bloom dalam Dunia Pendidikan

22 Oktober 2021   23:06 Diperbarui: 22 Oktober 2021   23:24 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada awal tahun 1950-an, Bloom dan teman-temanya menemukan bahwa butir soal terbanyak pada evaluasi hasil belajar yang disusun di sekolah hanya meminta siswa untuk mengutamakan hafalan para siswa. Bloom kemudian mengatakan bahwa hafalan merupakan tingkat paling rendah dalam kemampuan berpikir (thinking behaviors). Pihak sekolah seharusnya menggali lebih banyak level yang lebih tinggi yang harus dicapai agar proses pembelajaran dapat menghasilkan siswa yang kompeten di bidangnya.

Bloom, Englehart, Furst, Hill dan Krathwohl pada tahun 1956, memperkenalkan kerangka konsep kemampuan berpikir yang dinamakan Taxonomy Bloom. Taksonomi Bloom yang digunakan saat ini sebenarnya merupakan revisi dari model taksonomi Bloom yang dikembangkan pada 1956 ini.

Taksonomi Bloom ini yang mencakup ranah kognitif memiliki 6 level yang dimulai dengan Level Mengingat (level 1). Pada level ini sebuah pengetahuan lalu siswa diharapkan akan dapat mengingat konsep tersebut. Tak heranlah ini merupakan level yang terendah. Pada level 2 -- Memahami -- siswa diharapkan untuk dapat memahami sebuah konsep, seperti dapat menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasikan, meringkas, menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan dari sebuah konsep. 

Level berikutnya adalah Mengaplikasikan dimana siswa sudah mampu melakukan atau menggunakan sebuah prosedur untuk menerapkan sebuah konsep dalam kehidupan. Level 4 adalah Menganalisi. Siswa mengembangkan pemahaman yang kuat tentang materi pelajaran, mampu memecah bahan menjadi bagian-bagian penyusun, menentukan bagaimana bagian-bagian tersebut saling berhubungan dan dengan keseluruhan struktur. 

Level 5 adalah Mengevaluasi. Pada level ini, siswa mampu membuat penilaian atau pun kritik berdasarkan kriteria dan standar yang ada. Level yang terakhir yaitu Menciptakan. Level ini merupakan tingkatan tertinggi dalam keterampilan kognitif. Siswa pada tahap ini mampu menghasilkan, merencanakan, atau memproduksi sesuatu yang baru.

Teori Bloom ini sangat menarik untuk diaplikasikan pada saat proses belajar mengajar. Dalam pengaplikasian teori ini, kita bisa memulai dengan menetukan tujuan dari pembelajaran yang akan kita lakukan. Kemudian kita menentukan kompetensi pembelajaran yang ingin dicapai dengan mempertimbangkan karakteristik materi dan siswa. Dalam Menyusun pembelajaran, kita menggunakan kata kerja kunci yang sesuai, untuk menjelaskan instruksi kedalaman materi, baik pada tujuan program pembelajaran, kompetensi dasar dan indikator pencapaian.

Dalam dunia Pendidikan, para pendidik bisa mengaplikasikan teori ini ketika hendak mendesain pembelajaran yang akan dilakukan. Pendidik menetukan tujuan yang akan dicapai oleh para siswanya. Tujuan ini merupakan kemampuan yang ingin dikuasai oleh para siswa.

Sebagai contoh di Taman Kanak-kanak, seorang pendidik merumuskan tujuan Pendidikan adalah siswa bisa mengklasifikasikan hewan berdasarkan jumlah kakinya di lingkungan peternakan melalui media kartu gambar. Setelah merumuskan tujuan ini, guru bisa membuat langkah-langkah pembelajaran yang ingin dicapai oleh siswanya. 

Pada level 1, siswa dapat mengingat nama-nama hewan di peternakan, sedangkan pada level 2, siswa dapat membandingkan banyaknya kaki pada bermacam-macam hewan. Pada level berikutnya siswa bisa mengaplikasikan kepada hewan-hewan yang ada di peternakan. Urutan langkah ini akan berakhir pada level di mana kemampuan yang ingin dicapai oleh siswa. Dengan demikian pengajar bisa mengendalikan dan menyesuaikan tujuan belajar, aktivitas belajar dan proses evaluasi dengan mudah.

Akan tetapi sangat disayangkan bahwa dengan adanya tingkatan proses berpikir, pendidik cenderung mengabaikan proses berpikir tingkat rendah dan berlomba-lomba mengejar tingkat atas. Padahal kegiatan pada proses berpikir tingkat rendah adalah prasyarat menuju proses kegiatan berpikir tingkat tinggi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun