Mohon tunggu...
SRI WARDANI
SRI WARDANI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan MC

Suka Menulis, MC pemerintahan. Pernah menjadi Presenter di stasiun TV lokal. Meraih Juara II MC antar instansi Provinsi Riau (2014). Juara I lomba cerpen Penerbit Kertas Sentuh, Juara II Lomba Cerpen Penerbit Prospect. Juara III lomba Dongeng Tianisa Bookstore, Juara Harapan I Lomba cerpen The Journalish Publishing, Peringkat 5 lomba Cerpen Horor Tinta Misteri. Meraih 10, 20, 30, 50 besar lomba cerpen dan puisi lainya. Karya puluhan buku antologi fiksi dan non fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ketika Salat Id di Perantauan

26 Juli 2021   15:14 Diperbarui: 26 Juli 2021   15:25 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seminggu yang lalu umat muslim merayakan hari raya Iduladha. Sebuah hari raya besar dalam Islam yang diiringi kebahagiaan memotong hewan kurban dan berbagi. Moment kebersamaan dengan keluarga begitu terasa, berkumpul dan memasak daging menyambung silaturrahim.

Setiap Iduladha tiba, momen kenangan salat Id di negeri orang tujuh tahun lalu selalu membayang dalam ingatan. Hari itu adalah salah satu hari raya yang membuat saya berurai air mata, ternyata berat berada di perantauan saat momen istimewa ini.

Mengikuti pelatihan selama hampir dua bulan di kampus Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Minggu kedua diklat adalah Iduladha terpisah dengan keluarga. 

Sebelumnya saya tidak pernah merasakan salat id diperantauan. Kampung saya hanya radius lima kilometer dari Kota Pekanbaru, rumah mertua dekat dengan tempat tinggal. Cerita hari itu menjadi kisah yang tidak terlupakan.

Pagi itu, sebuah kerinduan membengkak. Mendengar takbir yang berkumandang bergema, seiring dengan meluapnya air mata. Dari asrama kampus, melangkah ke lapangan, setiap pijakan kaki merasa percikan air mata mengiringi. 

Sajadah yang dibentangkan seakan tempat menunduk untuk menampung buliran yang bertaburan. Pilu dan rindu dengan keluarga tidak usai sepanjang takbir. 

Saya dan teman bersaing menjulurkan tetesan bening. Pada hal, tidak kami saja yang terpisah dengan keluarga di sini, saya perhatikan jamaah salat hampir semuanya mahasiswa. Libur Iduladha singkat, mereka juga memutuskan tidak pulang kampung.

Saya berusaha untuk tegar dan kuat, tetapi gundukan lembut itu tidak bisa berkompromi, tetap saja mengalir membasahi pipi dan mukena. Apalagi melihat teman saya tersedu dan badannya terguncang karena terisak. 

Wajar, dia meninggalkan tiga anak yang masih kecil. Sungguh sendunya lebih berat. Saya memeluknya untuk menenangkan meskipun pelukan itu membuat tangisnya semakin pecah.

Selesai salat kami kembali ke asrama, memang disediakan sarapan lontong, hanya saja suasananya tidak mengena. Teman saya masih menagis, teman laki-laki malah sibuk membuat lelucon agar semua tertawa. Saya sudah menutup tangis dan berpura-pura bisa bebas, sebenarnya lubuk hati masih menggenang.

Untuk menghilangkan kehampaan yang dirasakan, kami memutuskan menjelajahi Banda Aceh,  yang penting kami keluar dari asrama. Ternyata semua tempat wisata yang biasanya dibuka tutup, setidaknya kami mencoba memastikan dengan mengunjungi museum tsunami Aceh kemudian ke pantai Lampuuk. benar semuanya ditutup.

Kami memutuskan ke sebuah pantai yang sepi. Aceh banyak pantai yang bisa disinggahi. Keasrian alam begitu terasa. Hanya kami yang datang sebanyak 14 orang, semuanya berasal dari luar Banda Aceh, bersantai melepaskan rindu, menikmati kelapa muda. Ada warga yang menjual yang tinggal di tepi pantai.

Untuk salat zuhur kami berhenti di sebuah masjid. Ternyata masjid bersejarah, menyimpan cerita tsunami. Itulah masjid Rahmatullah (nanti akan ada bahasan khusus). Kami mampu merasakan jejak bencana yang mengiris hati. Terlihat bangunan asli yang retak masih dibiarkan sebagai saksi. 

Berbagai foto-foto peristiwa terpampang di sana. Masjid ini salah satu masjid yang tetap berdiri usai tsunami. Padahal di sekelilingnya rebah tak bersisa.

Memasuki siang kami melanjutkan bermain di tepian pantai Ulele. Dari panitia makan siang yang biasanya prasmanan kali ini disediakan nasi kotak. Hal ini memudahkan kami membawa bekal untuk makan di tepian pantai Ulele. Suasana ini sedikit menghapus keresahan dan membenam rindu yang bergumul untuk berkumpul dengan keluarga saat hari raya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun