Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kompromi dengan Anak Bermain Gawai, Supaya Tidak Kecanduan

29 Mei 2020   15:35 Diperbarui: 1 Juli 2020   20:00 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi:https://www.merdeka.com Rizky Wahyu Permana

Masa pandemi Covid-19 ada hikmah yang dapat dirasakan oleh keluarga di Indonesia. Biasanya semua anggota keluarga sibuk dengan berbagai aktivitas di luar rumah. Ada yang bekerja, sekolah, kuliah,  melakukan kegiatan sosial, keagamaan, budaya, atau sekedar menjalin silaturahmi dengan teman, tetangga, komunitas. Namun sudah lebih dari 3 (tiga) bulan semua anggota keluarga di rumah saja karena pandemi Covid-19.

Ruang gerak beraktivitas setiap orang di stop demi untuk memutus penularan Covid-19 yang mematikan dan belum ada obatnya. Walau ada orang yang lantang mengatakan:"Hidup mati ditangan Allah", memang benar mati, rejeki, jodoh itu sudah diatur oleh Allah, namun menjadi tindakan konyol ketika sudah ada protokol kesehatan tetap dilanggar, dikelabuhi, dan diperdebatkan. Mengingat virus corona ini tidak kasat mata, sehingga tidak tahu kapan, dimana, siapa yang berpotensi menularkan.

Oleh karenanya mentaati aturan dan protokol kesehatan, cara yang mudah dan sederhana dengan di rumah saja atau stay at home. Berperilaku hidup sehat dan bersih, menjaga jarak aman, dan memakai masker bila terpaksa keluar rumah. Kalau saat PSBB, kondisi darurat masih ada yang beraktivitas di luar rumah, karena tuntutan kebutuhan, abai, menyepelekan atau sudah bosan di rumah saja. Perlu terus sosialisasi dengan bahasa (daerah) yang mudah dipahami oleh masyarakat  hererogen. Kesadaran hidup disiplin mengikuti protokol kesehatan perlu digaungkan secara kontinyu.    

Rasa bosan, jenuh, di rumah saja pasti dirasakan oleh semua anggota keluarga, termasuk anak-anak. Ruang geraknya terbatas sekitar kamar, dapur, ruangan di dalam rumah. Bersyukurlah yang punya rumah sendiri, tidak kontrak di rumah petak, di gang sempit. Untuk mengusir rasa bosan anak-anak, agar tidak  membuat kegaduhan, orang tua mengalihkan dan/atau pengasuhan pada gawai yang berisi kuota atau tersambung pada wifi langganan. Bagi yang mampu, bagaimana yang tidak mampu ?.

Pengalihan pola asuh dari orang tua kepada gawai ini diakui dapat menyelesaikan masalah sementara, karena anak-anak duduk manis melihat youtube, main game online, dan membuat vidio Tik Tok. Orang tua awalnya hanya ingin agar suasana nyaman, tenang, anak-anak tidak berisik ketika para orang dewasa menyelesaikan tugas kantor, sekolah/kuliah dari rumah. Artinya awalnya hanya untuk mengalihkan perhatian anak, tetapi menjadi keterusan. Jadi jangan salahkan anak bila kecanduan gawai, karena yang memulai orang tua sendiri demi karier, eksistensi, dan aktualisasinya.  

Tanpa disadari orang tua memberi mainan agar anak berhenti menangis, mau makan, dan cepat tidur. Anak pasti tertarik melihat kotak ajaib yang bisa bersuara dan ada gambarnya, sehingga jemari kecil lincah memainkan. Namun tindakan orang tua ini dapat menjadi bumerang, justru menyusahkan orang tua apalagi anak sudah taraf "kecanduan",  susah menghentikannya. Selain itu sinar gawai yang dikeluarkan dalam waktu lama membuat mata cepat pedas, pusing dan sakit, apalagi posisi duduk tidak ergonomis.  

Disisi lain ada orang tua justru bangga anaknya sudah mempunyai mainan gawai canggih. Orang tua  tidak berdaya saat anaknya merengek dan menangis ingin bermain gawai, karena gawai sebagai senjata pamungkas untuk membujuk anak diam menangis dan tidak merengek. Memang anak cepat diam, "anteng", tidak berisik, duduk sendirian asyik, dan jari jemari kecilnya lincah menyentuh "touch screen"(layar sentuh). Bahkan ada orang tua yang khusus membelikan gawai untuk anaknya,  agar tidak mengganggu milik orang tua. Apakah membelikan gawai untuk anak belum cukup umur sebagai bentuk kasih sayang orang tua ?.  

Orang tua berkilah membelikan gawai agar anaknya menjadi anak rumahan, tidak keluyuran dan terpengaruh lingkungan sosial yang meresahkan. Alasan gawai sebagai benteng pertahanan dari lingkungan sosial tidak baik, dan sebagai "rasa bersalah" orang tuanya yang seharian beraktivitas di luar rumah, nampaknya bisa diterima akal. Namun bila dicermati anak justru kurang pergaulan, kurang aktivitas, dan kurang bersosialisasi dengan teman sebayanya. Kondisi ini dapat mempengaruhi perilaku sosial dan sikapnya dengan orang lain.

Agar anak tidak kecanduan bermain gawai maka orang tua harus bijaksana dan selalu mengajak dialog atau kompromi dengan anak. Boleh main gawai asal tidak terlalu dini (sesuai anjuran KPAI melalui Kak Seto:"Anak baru dapat dikenalkan gawai saat di kelas 5 SD, itupun perlu dibatasi dan dikombinasikan dengan permainan yang membuat anak aktif bergerak".

Mengingat anak-anak sudah dewasa, maka kompromi diterapkan pada cucu-cucu. Ketika melihat cucu-cucu diam, duduk, asyik bermain gawai, biasanya menegur dengan santai tanpa emosi:"Sudah berapa jam bermain gawai, dan mau berapa menit lagi ?". Dengan demikian mereka bilang misal 5 (lima) menit lagi dan ditepati. Kalau tidak mau mengikuti aturan, biasanya ada tawaran pilihan untuk cucu-cucu, pilih gawai disita, artinya tidak boleh main gawai sama sekali atau boleh bermain tetapi dibatasi waktunya. Biasanya cucu-cucu memilih tawaran yang kedua, artinya masih bermain gawai tetapi dibatasi.

Jadi orang tua harus tegas dan ketika anak-anak dibatasi main gawai, orang tua harus konsekwen tidak main gawai sendiri dengan alasan untuk kerja atau apapun. Artinya orang tua juga memberi teladan bagi anak-anaknya supaya tetap menjadi generasi yang mengikuti jamannya, tetapi tetap bergaul, akrab, mempunyai simpati dan empati dengan lingkungan sosialnya. Sekarang masalahnya, sanggupkah orang tua menahan diri tidak memegang, melihat, dan bermain gawai ?. Hal ini penting agar anak-anak, cucu-cucu juga dapat mengatur waktunya untuk bermain gawai, bersosialisasi dan beraktivitas dengan teman-teman sebayanya.  

Yogyakarta, 29 Mei 2020  Pukul 14.49  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun