Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mensosialisasikan LPSK kepada Masyarakat, Agar Saksi dan Korban "Merasa" Terlindungi

21 November 2018   23:26 Diperbarui: 1 Desember 2018   12:16 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat) bukan negara yang berdasarkan kekuasaan (machtsstaat) belaka. Pernyataan ini sudah ada sejak berdirinya negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik pada tanggal 17 Agustus 1945.

Makna dari pernyataan yang tertuang dalam penjelasan UUD 1945, bahwa hukum menjadi landasan, pedoman, pengatur, pengayom dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Dapat dibayangkan bila dalam suatu negara yang merdeka, berdaulat tidak mempunyai landasan hukum, pasti terjadi kekacauan, ketidak tertiban, dan kesimpangsiuran.

Selain itu bila negara tanpa hukum, berlakulah hukum rimba, siapa yang kuat (kekuasaan, kekayaan, ilmu, wawasan, pengetahuan dan informasinya), dialah yang menang. Akibatnya si lemah (fisik, psikis, sosial, ekonomi, wawasan, pengetahuan dan informasi) selalu kalah dan/atau dengan mudah "dikalahkan" karena tidak berdaya, dan tidak bisa berupaya untuk melawan keangkuhan, kedzoliman, dan keangkara murkaan.

Padahal hukum itu untuk membuat suasana menjadi tertib, nyaman dan rasa aman, karena mendapat pengayoman. Hak-hak seseorang diakui dan dilindungi, kewajiban dilaksanakan dengan tertib. Namun juga memberikan sanksi pidana/perdata, hukuman kurangan, denda, ganti rugi bagi siapa saja yang tidak melaksanakan kewajiban, melanggar ketentuan dan melakukan  perbuatan "melawan hukum".

Prinsipnya hukum itu tercipta karena ada kekuasaan yang sah, tanpa ada kekuasaan yang sah berarti tidak ada hukum. Hukum itu pada hakekatnya adalah kekuasaan yang mengusahakan ketertiban dan memberikan sanksi, ada kewajiban yang harus dikerjakan dan hak yang perlu didapatkan dan dilindungi.

Namun bukan berarti kekuasaan adalah hukum, yang selalu mengatas namakan hukum untuk kepentingan penguasa. Artinya penguasa tidak dapat berlindung dan  bertindak mengatas namakan demi penegakan, kepentingan hukum, menciptakan ketertiban dan rasa aman, tetapi sejatinya hanya untuk melanggengkan kekuasaannya.

Menurut Aristoteles negara hukum adalah:"negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya". Namun kenyataannya praktek di masyarakat, hukum itu ternyata bagaikan pisau tajam,  sangat tajam ke bawah untuk rakyat biasa yang tidak mempunyai akses informasi dan kekuasaan, tetapi sangat tumpul ke atas (penguasa yang mempunyai akses informasi, "networking" sampai lintas batas kewenangannya).

Dalam kondisi ini, wajar kalau masyarakat lebih suka diam dan cari aman ketika mendengar, mengetahui terjadinya tindak pidana terhadap korban baik pelecehan seksual, KDRT, pelanggaran HAM, trafficking, korupsi, narkotika, pemerkosaan, pembunuhan dan kasus kejahatan kriminal lainnya. Bagaimana dengan kasus perdata yang berpotensi menimbulkan kerugian moral dan material ?. Apakah korban juga mendapat perlindungan seperti tindak kejahatan dalam kasus pidana ?.

Sikap apatis masyakarat ini karena berdasarkan realita, baik sebagai korban yang sekaligus menjadi saksi kunci ataupun saksi biasa, sering mendapatkan "teror", dirundung rasa takut dan mendapatkan tekanan yang berat dari pihak tertentu. Akibatnya korban yang sekaligus menjadi saksi kunci dalam tindak kejahatan lebih baik diam dan tidak melapor ke pihak berwajib atas kejadian yang pernah dialaminya.

Murung, menarik diri dari pergaulan, meratap, merenung, menyesal, dalam kepedihan, kesedihan, kesakitan ditanggung sendiri yang dapat mengakibatkan gangguan fisik dan psikologis. Perasaan bingung, sedih, yang mendera dengan rasa takut, khawatir, tidak tenang dalam melakukan aktivitasnya.

Apalagi masyarakat secara sosial sudah menghukum dengan membullying melalui media sosial, mengejek, menghina, dan tidak menerima kehadirannya karena telah menodakan "aib" bagi lingkungannya. Bahkan ada daerah tertentu ketika ada perempuan melahirkan anak diluar nikah atau hasil hubungan gelap, maka ibu an anaknya di"asingkan" di tempat terpencil yang jauh dari keramaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun