Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Perjuangan Hidup di Jakarta, Menikmati Kemacetan

14 November 2018   23:57 Diperbarui: 15 November 2018   09:57 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernah merasakan kehidupan di kota Metropolitan karena menjalankan tugas belajar di Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia tahun 1989 - 1991. Kuliah di kampus UI Depok, tetapi sering mendapatkan tugas kuliah yang referensinya ada di Perpustakaan Nasional Salemba, Merdeka Selatan, LIPI, British Council, BPHN, Perpustakaan Mas Agung. Perjalanan sering dilakukan dengan naik angkutan umum KRL, berbaur dengan tukang jualan buah-buahan bersama rombong yang menyita tempat, pengamen, pengemis, pencopet dalam gerbong yang sama.

Kadang naik metromini dengan kondisi mesin dan bodinya sudah "out of date", jauh dari rasa aman, nyaman, panas tanpa AC. Kalau turun harus memberi tanda "tok-tok" dan bilang "depan kiri", kenek meneriakkan turun dengan kaki kiri. Belum sopir yang kebut-kebutan mengemudinya karena berebut penumpang.  

Walau ada tulisan "sesama metromini dilarang saling mendahului", tetap saja kebutuhan perut membuat abai  keselamatan penumpang dan orang lain. Waktu itu kendaraan roda dua masih jarang yang memiliki, sehingga tidak ada pilihan lain bila bepergian, suka tidak suka naik kendaraan umum. Kalaupun naik taksi mahal diongkos, dan lama menunggu taksi lewat, belum nanti kalau ada "argo kuda", yang bisa meloncat-loncat argonya sehingga harus membayar lebih mahal.

Setelah lulus kuliah masih sering ke Jakarta sampai sekarang untuk berbagai keperluan. Perubahan dan pembangunan terus terjadi di kota metropolitan, gedung perkantoran, apartemen menjulang tinggi, pusat perbelanjaan, cafe, kuliner, bagaikan hutan beton dan papan reklame di berbagai tempat strategis.

Namun satu hal yang tidak berubah, bahkan semakin parah yaitu kemacetan. Terlebih bertambahnya kendaraan roda dua dan mobil yang tidak bisa ditekan dan dilarang.

Gencarnya promosi para sales yang menawarkan fasilitas kredit dengan bunga nol presen untuk beberapa bulan angsuran, menggoda setiap orang untuk memiliki motor dan mobil. Harga mobil baru dengan clasis dan merek tertentu yang semakin murah dan mudah melakukan transaksi akad kredit. Mempunyai uang Rp 10 juta dapat membawa pulang mobil, walau tiap bulan harus mengangsur. Sementara ruas jalan tetap, sehingga daya dukung dan daya tampung jalan raya sudah berada di titik nol.

Kemacetan semakin parah pada jam pagi dan sore saat para "pahlawan keluarga", mencari nafkah mulai meninggalkan rumahnya di pagi hari menuju tempat kerja dan sore hari ketika kembali ke rumah. Jarak tempuh tidak bisa diprediksi berapa lama, tetapi sangat tergantung pada situasi dan kondisi lalu lintas. Belum kalau hujan banjir dimana-mana, karena saluran air tersumbat sampah, mobil dan motor bukan lagi macet tidak bergerak, tetapi mati mesin kena air.

Namun berkat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, dengan smartphone android dan apple dapat mendeteksi jalan-jalan yang macet parah dengan tanda merah, biru artinya ramai lancar dan hijau lancar. Dampak kemacetan ini selain menambah waktu tempuh sampai tujuan, materi (untuk membeli bahan bakar), tenaga, pikiran, kesehatan, kerusakan mesin, dan kerusakan lingkungan karena polusi udara.

Menghadapi masalah kemacetan ini pemerintah di DKI Jakarta berusaha secara maksimal, dengan fasilitas angkutan umum berupa commuter line, bis trans Jakarta, pemberlakuan nomor ganjil genap. Pernah juga diberlakukan kawasan pembatasan penumpang mobil pribadi ("Three in One"), era Gubernur Sutiyoso. Pembatasan lahan parkir, tarif parkir tinggi dan Mass rapit Transit (MRT), yang masih dalam proses. Hasilnya secara signifikan belum dapat dirasakan, bahkan sudah ada pajak progresif untuk kendaraan pribadi. Semua usaha tersebut belum bisa menekan bertambahnya kepemilikan kendaraan bermotor. 

Sumber kemacetan biasa terjadi di perempatan walau sudah dipasang traffic light, tidak bermakna lampu merah jalan, hijau berhenti karena ulah pengemudi yang tidak sabar.Belokan untuk putar balik, walau sering ada pak Ogah bukan polisi lau lintas, untuk mengurai kemacetan sungguh perlu kesabaran tingkat tinggi dan keterampilan. Hal ini karena kondisi fisik, psikis para pengemudi yang mudah tersulut amarahnya oleh suasana lingkungan jalan yang tidak mendukung. Bunyi klakson, deru mesin motor dan mobil, asap knalpot yang menyesakkan dada, sengatan matahari, menambah tekanan emosi dan darah semakin meningkat.

Dalam kondisi ini, sangat dibutuhkan transpotasi umum yang murah, aman, nyaman, ber AC, bersih, dan tepat waktu. Hal ini dimaksudkan untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi ke tempat kerja atau keperluan lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun