Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Profesi Pustakawan dalam Kesunyian?

26 Agustus 2018   18:18 Diperbarui: 26 Agustus 2018   18:45 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap orang mempunyai hak untuk memilih dan menjalani profesi dengan penuh rasa tanggung jawab dan pengabdian, yang tidak harus semuanya dihitung dengan besarnya rupiah. Menjalani profesi pustakawan selalu dikaitkan dengan "mencerdasakan kehidupan bangsa", karena keahlian dan kompetensi untuk mengelola dan melayani orang-orang yang membutuhkan informasi (cetak, digital) melalui perpustakaan. Walaupun internet sudah memberikan informasi apapun dengan cepat, gratis tinggal memainkan jemari diatas keyboardpersonal computer (PC), note book, ipad, dan handphone, perpustakaan tetap menjadi tempat yang semakin menyenangkan.

Ketika pustakawan belum diakui oleh pemerintah sebagai profesi, bekerja di perpustakaan itu bagaikan seperti di tempatkan di ruangan yang jauh ari hiruk pikuk keramaian. Lokasi ruangan perpustakaan biasa  di ujung paling belakang dari gedung, dekat toilet atau bahkan terpisah dari pusat kegiatan belajar mengajar. Jadi kalau ke perpustakaan harus meluangkan waktu khusus dan naik angkutan umum, motor atau "nebeng" orang lain. Suasana perpustakaan yang sunyi, sepi, gelap, berdebu, kotor, semakin bertambah "horor" karena sikap negatif para pegawaianya (waktu itu belum ada sebutan pustakawan). Citra negatif itu sungguh membuat pengguna perpustakaan malas ke perpustakaan lagi. Penulis termasuk orang yang mempunyai  kesan "buruk" dengan pegawai perpustakaan ketika mahasiswa, sehingga jarang ke perpustakaan kecuali harus mencari literatur untuk penulisan skripsinya.

Berkat perjuangan para pendahulu dan keahlian diplomasi para tokoh pustakawan seperti ibu Mastini Hardjoprakoso almh (mantan Kepala Perpustakaan Nasional RI), ibu L.K. Somadikarta almh (mantan dosen JIP FIB-UI), ibu Luwarsih Pringgoadisurjo almh (mantan Kepala PDII-LIPI), pegawai perpustakaan mendapat mengakuan dari pemerintah. Ketiga Srikandi pustakawan Indonesia itu berhasil meyakinkan pemerintah bahwa pustakawan itu adalah profesi seperti dosen, dokter, guru, hakim, yang perlu mendapat apresiasi dari pemerintah (bagi yang PNS). Keluarlah Kempenpan No,18 Tahun 1988 tentang Jabatan Profesi Pustakawan dan Angka Kreditnya.

Terjadilah euforia dan pegawai bagian lain memalingkan perhatiannya ke perpustakaan, karena akan mendapat tunjangan fungsional selain gaji setiap bulan, dapat naik pangkat setiap 2 (dua) tahun sekali, jabatan/pangkat sampai pustakawan utama golongan IVe tanpa  hambatan, bebas ujian dinas, pensiun sampai 65 tahun, bisa tugas belajar di dalam maupun di luar negeri. Iming-iming mampu menyedot pegawai bersedia ditempatkan di perpustakaan. Berhubung lulusan dari ilmu perpustakaan dan informasi dari Universitas Indonesia (satu-satunya) yang mempunyai program studi angkatan pertama baru dibuka tahun 1986, sehingga belum ada lulusannya. Akibatnya lulusan SMA pun dapat menjadi pustakawan asal mempunyai sertifikat diklat ilmu perpustakaan dan informasi.

Namun euforia itu tidak berlangsung lama, ketika syarat untuk naik jabatan/pangkat harus mengumpulkan angka kredit yang dinilai oleh tim penilai. Waktu itu tim penilai menjadi "algojo" memangkas nilai seenaknya yang diajukan dan "penentu" nasib pustakawan. Akibatnya banyak pustakawan yang tidak tahan dengan tantangan, hambatan, ujian, kembali menjadi pegawai biasa bukan fungsional pustakawan. Artinya juga harus rela tidak mendapat tunjangan fungsional pustakawan berdasarkan Kepres No.65 Tahun 1992 besarnya antara Rp 22.500 (asisten pustakawan madya/Iib) sampai Rp 110.000,- (pustakawan utama/IVe. Selain pustakawan arsiparis, teknisi penerbangan, penguji barang, pranata komputer mendapat tunjangan sebesar itu, ketika era Suharto.

Setelah perguruan tinggi menghasilkan lulusan dari prodi ilmu perpustakaan dan informasi, jumlah pustakawan terus meningkat dan memberi warna perkembangan perpustakaan untuk memberikan pelayanan generasi milenial. Lihatlah perpustakaan yang terang benderang, ramai, sarana prasaran serba modern dan canggih, tidak terlepas dari "tangan dingin" para pustakawan. Walaupun diakui perkembangan perpustakaan dan kreasi inovatif para pustakawan ini belum merata di seluruh Indonesia. Masih terjadi disparitas yang sangat menyolok antara Indonesia bagian barat, tengah dan timur, dan semua jenis perpustakaan juga belum semua berkembang.

Ditengah pustakawan diakui dan dibutuhkan ide dan pemikirannya, disisi lain arah profesinya semakin sunyi, sepi, senyap, karena dihadang oleh peraturan yang "memberangus" keleluasaan menjalani profesi sampai puncak. Peraturan setingkat menteri yang tidak membuka "peluang" untuk ada kelas jabatan tertentu karena berkaitan dengan tidak ada formasi yang diajukan oleh instansi dibawah kementerian tersebut. Tentunya ini menjadi ranah bagian kepegawaian untuk membuat analisis jabatan sehingga dalam instansi itu jelas ada posisi jabatan pustakawan sesuai kebutuhan  riil, antara jumlah koleksi, jenis jasa, dan pemustaka yang dilayani. Saat ini hanya Perpustakaan Nasional RI yang telah membuat analisis jabatan dan formasi untuk pustakawan utama, artinya memberi kesempatan bagi pustakawan di lingkungan Perpustakaan Nasional RI untuk mencapai puncaknya. Bukan berarti dengan mudahnya dari instansi lain pindah begitu saja di Perpuatakaan Nasional RI ketika di institusinya tidak ada formasi jabatan pustakawan utama.

Memang diakui pustakawan tidak pernah terlibat dalam analisis jabatan untuk profesinya, akibatnya sering terjadi pustakawan ketika mengajukan kenaikan jabatan/pangkat ternyata tidak ada formasinya. Masih mending pustakawan diberitahu secepatnya, dan disarankan jalan yang terbaik agar keberlangsungan kenaikan jabatan/pangkat dapat jelas. Namun biasanya  berkas dihilangkan, didiamkan, diabaikan, dan pustakawan berjuang sendirian/dalam kesunyian untuk mengurus hak-haknya. Bagian kepegawaian/SDM/HRD lepas tangan begitu saja, padahal sejatinya ini adalah tanggung jawab dan amanah untuk mengurus nasib dan hak orang lain. Ketika pustakawan bibiarkan sendirian dan dipingpong tanpa ada pendampingan dan apalagi membela termasuk dari organisasi profesi pustakawan (IPI), maka jangan disalahkan kalau profesi ini kembali sepi peminat. Kalaupun perpustakaan masih berjalan namun "roh"nya sudah hilang karena dikelola oleh orang-orang yang tidak  kompeten di bidangnya.

Yogyakarta, 26 Agustus 2018 Pukul 17.11

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun