Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Inilah 5 Cara Mengatasi Kecanduan Gim pada Anak

26 Juni 2018   21:45 Diperbarui: 26 Juni 2018   21:45 1190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bermain gim baik secara daring maupun off line di Indonesia selama ini tidak ada peraturan yang melarang dan tidak ada sangsi pidana ataupun kurungan yang dapat diterapkan. Artinya kegiatan ini masih menjadi ranah pribadi yang belum perlu pemerintah ikut campur tangan karena dampak yang ditimbulkan tidak menganggu ketertiban dalam pergaulan bermasyarakat dan bernegara. Namun seiring dengan perkembangan teknologi yang pesat dan canggih, para pemain gim mulai "kecanduan" sehingga berdampak pada kesehatan fisik, psikis. 

Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan"kecanduan bermain gim masuk kategori penyakit gangguan mental". Walaupun diakui tidak semua jenis permainan gim bersifat adiktif, karena awalnya hanya sekedar untuk refreshing menghilangkan kejenuhan, dan ritunitas.

Permasalahan muncul apabila permainan games ini menimbulkan kecanduan, ketergantuangan pada pemakaianya, yang semestinya dapat dicegah, sebagai upaya preventif. Kapan pencegahan itu dilakukan ?. Sedini mungkin, yaitu ketika anak-anak masih kecil tidak dibiasakan memberi mainan gadget dengan alasan untuk "menenangkan" dari tangisan, rengekan, kemarahan, amukan, dan lain-lain. Bukan berarti anak tidak boleh memainkan gadget, ini justru dianjurkan karena generasi milenial tidak bisa dilepaskan dari gadget. 

Orang tua lagi-lagi dituntut memberikan pendampingan dan penjelasan dengan bahasa anak mana yang diperbolehkan, orang tua harus tegas untuk memberi batasan waktu. Lebih baik anaknya menangis saat masih kecil, daripada nanti orang tuanya yang menangis ketika anak sudah "kecanduan" permaianan yang ada di gadget.

Membiasakan anak-anak untuk minta ijin ketika akan meminjam gadget milik orang tuanya, jadi tidak boleh langsung mengambil gadget sendiri. Orang tua perlu melakukan negosiasi dan perjanjian dengan anak saat memainkan gadget, khususnya batasan waktu yang diberikan. Disinilah pentingnya orang tua mempunyai wawasan, pengetahuan luas untuk mendidik anak-anaknya, dan mengalihkan perhatian dengan membacakan cerita dari buku yang dapat dipinjam di perpustakaan umum. 

Mendongenkan kisah-kisah petualangan, hikayat, legenda, dan kisah-kisah para pahlawan, menjelaskan bermacam suku, agama, bahasa, pakaian daerah, permainan tradisional. Semua ini dimaksudkan agar anak-anak nanti tumbuh menjadi anak-anak yang berkarakter, berbudi pekerti, berpikiran global namun tetap bertindak lokal. Mempunyai rasa nasionalisme, jujur, toleran, dan tidak radikal pemahaman keyakinannya.

Sekarang yang menjadi masalah kalau anak-anak sudah terlanjur kecanduan dengan permaian games, maka orang tua tidak perlu saling menyalahkan. Permainan games yang bersifat adiktif ini dapat dilakukan oleh setiap orang tanpa pandang usia, jenis kelamin, agama, status sosial, asal "melek" teknologi informasi dan komunikasi. Kondisi para "gamer" yang sudah masuk kategori "lampu merah", bila telah melampaui batas kewajaran, bahkan menarik diri dari komunitas sosial (keluarga, pendidikan, pertemanan). 

Apalagi sampai "lupa diri" dan menzalimi dirinya sendiri (tidak makan, minum, begadang, tidak mandi, apalagi menjalankan ibadah menurut keyakinannya). Sehari-hari main game karena ada "halusinasi" bahwa "akun"nya dapat dijual dengan harga yang mahal. Jadi harus kerja keras, namun sayang tidak kerja cerdas. Kalau listrik mati, jaringan terganggu marah besar, berteriak, histeris, dan lain-lain. Ruang kerjanya di kamar yang terkunci dari dalam, jendela tidak pernah dibuka, tanpa sirkulasi udara, pengab, lembab, yang sangat menganggu kesehatan.

Menghadapi kondisi ini perlu solusi yang integratif, terus menerus, komprehensif untuk menyembuhkan "sakit" secara psikis, diantaranya dengan:

  1. Orang tua, keluarga, lingkungan sekitar menjadi garda terdepan untuk membantu penyembuhan "kecanduan" adiktif permainan games dengan tidak "menghakimi", menyudutkan, menyalahkan, namun mendampingi setiap upaya penyembuhan yang ditempuh.
  2. Melakukan komunikasi dari hati ke hati, sehingga dapat mengeluarkan permasalahan yang menjadi penyebab utamanya, sehingga mencari "pelarian" dengan permaian games sampai kecanduan. Hal ini mengingat permainan games awalnya untuk melupakan kepenatan, dan persoalan sementara, sekedar untuk refreshing sementara.
  3. Konsultasi kepada ahlinya (psikiater, psikolog, dokter ahli jiwa), yang sering menangani pasien dengan masalah mental dan kejiwaan. Walaupun secara fisik tidak sakit, namun psikisnya yang perlu ada terapi dan pengobatan.
  4. Secara rohani dikonsultasikan kepada ahli agama yang dianut, dengan doa-doa dan sentuhan rohani untuk memberikan ketenangan jiwanya, sehingga nuraninya tersentuh, tersadar, untuk kembali menjalani kehidupan yang normal dan wajar.
  5. Menjalin jejaring dengan lingkungan sosialnya yang dapat memberi semangat untuk "move on". Melakukan kegiatan fisik (olah raga), menyalurkan hobinya (kesenian), melakukan traveling di pantai, pegunungan, destinasi wisata yang dapat menginspirasi, membuka pandangan dan wawasannya, sehingga meninggalkan dan melupakan permainan games.

Demikian, untuk menghadapi "kecanduan" permaianan gim yang tidak saja merugikan dirinya karena mengabaikan masa depan dan potensinya, namun orang tua, saudara, lingkungan menjadi sedih dan ikut prihatin.  

Yogyakarta, 27 Juni 2018 Pukul 21.34

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun