Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gaji Dosen Asing 5 Ribu Dolar AS, Yakin Tidak Ada Kecemburuan?

21 April 2018   10:15 Diperbarui: 22 April 2018   09:45 3152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Infokampus.news

Membaca berita Kedaulatan Rakyat cetak hari ini (20/4/2018) tentang dosen asing yang digaji 5.000 Dolar AS, dan di harian Kompas tentang dosen milenial menjadi tumpuhan, jadi ingat keluh kesah dosen muda dengan status tetap di suatu PTS. 

Dirjen Sumber Daya Iptek Kemenristek dan Dikti Ali Ghufron di Jakarta mengatakan demikian: Untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, agar sesuai dengan tuntutan revolusi industri 4.0 dengan membangun iklim akademik penelitian, dan penulisan publikasi ilmiah perlu mendatangkan dosen asing dari 100 kampus top dunia (KR,20/4/2018).

Alasan apapun sah-sah saja dan tentu mendapat dukungan dari kampus-kampus di Indonesia karena ini sifatnya “instruksi” untuk menerima dosen asing. Masih menurut Dirjen: ”Gaji dosen asing itu sebesar 3.000 sampai 5.000 dolar AS, nominal gaji ini sesuai dengan standar yang ada, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan dengan dosen-dosen di Tanah Air”. Gaji dosen asing itu kalau dinilai dengan rupiah misal 1 Dolar AS sebesar Rp 13.500 berarti gajinya antara Rp 40.500.000 sampai Rp 67.500.000.

Di Indonesia profesi dosen diakui belum menjadi impian bagi para sarjana lulusan baru, apalagi yang nilainya “cum laude”, mereka lebih senang bekerja di perusahaan swasta dan multinasional. Alasannya baru lulus sudah dapat pekerjaan dengan gaji yang lebih besar dibanding dosen (syarat minimal lulusan S2, perlu proses pengangkatan panjang, tanggung jawab dan tuntutan bidang akademik tinggi).

Sedangkan yang bekerja di swasta ada tantangan dan target yang diimbangi dengan peningkatan gaji dan fasilitas (motor atau mobil) dalam jangka 5 (lima) tahun menjadi miliknya.

Namun gaji dosen yang “relatif” kecil (dibandingkan kerja di swasta multinasional) menjadi tempat berlabuh bagi lulusan S2 dan S3 (dalam dan luar negeri) untuk setia meniti karier menjadi dosen milenial. Dosen-dosen muda (generasi Y) menjadi tumpuhan dalam memasuki era industri 4.0 karena menguasai teknologi informasi dan komunikasi, yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran.

Untuk dosen PNS formasi pengangkatan terbatas, padahal tiap tahun ada 2000 orang dosen pensiun (Kompas 20/4/2018). Bagi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) karena sudah otonomi dapat mengangkat dosen tetap yang mendapat hak dan fasilitas seperti dosen PNS. Penyiapan dosen muda lulusan S1 “cum laude”, dengan pogram beasiswa pendidikan magister dan doktor di perguruan tinggi ternama di dunia. Bagi yang non-PTNBH apalagi perguruan tinggi swasta yang harus membiayai sendiri operasionalnya, kondisi ini dirasa sangat berat.

Perjalanan karier dosen mulai dari asisten ahli, lektor, lektor kepala sampai guru besar panjang dan prosesnya berjenjang. Belum kalau ada aral melintang, walau semua sudah komputerisasi yang namanya “human error” pasti ada entah hilang berkas, terlambat mengirimkan, kurang nilainya, kurang publikasi dan ini itu. Memang diakui kenaikan jabatan dosen lebih mendapat perhatian bagian kepegawaian dibanding tenaga kependidikan (tendik), padahal yang mengurusi juga tendik.

Gaji dosen Indonesia yang PNS terdiri dari gaji pokok (sesuai pangkat/golongan), tunjangan fungsional dosen, sertifikasi (bagi yang sudah memenuhi syarat dan ketentuan). Namun penghasilannya lain berasal dari menjabat seperti Rektor, Wakil Rektor, Dekan, Wakil Dekan, Ketua Departemen (Jurusan), mendapat tunjangan/tugas tambahan. 

Honor publikasi ilmiah (insentif yang dapat masuk Scopus, jurnal terakreditasi), royalti menulis buku (dari penerbit, plus selain insentif dari kampus), gaji staf ahli (bagi yang diangkat lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif), honor pembicara. 

Gaji (yang rutin diperoleh setiap bulan) dan penghasilan (tidak tentu namun dihitung per jam) biasanya lebih besar penghasilan. Kalau gaji itu semua sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan, kalau penghasilan itu sangat tergantung dari kompetensi, jaringan, rezeki dan “garis tangan” setiap orang berbeda-beda. Jadi tidak perlu cemburu, kalau ingin mendapatkan yang sama jadilah dosen yang kompeten dan profesional melebihi yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun