Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Benarkah Sosok Kartini di Lingkungan Kerja, Bikin "Baper"?

20 April 2018   11:30 Diperbarui: 20 April 2018   22:15 2835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Pexels/Energepic.com)

Emansipasi yang telah diperjuangkan oleh R.A. Kartini sangat dirasakan oleh wanita di Indonesia, sehingga mempunyai persamaan hak, sejajar dengan laki-laki. Wanita mempunyai kodrat mengandung, melahirkan, menyusui yang tidak bisa digantikan oleh lawan jenisnya.  Sosok  wanita memang mempunyai peran “multitasking”, menjalankan pekerjaan dalam waktu yang bersamaan. 

Sebagai ibu rumah tangga dengan seabrek pekerjaan ke”rumah tanggaan”an yang jam  kerjanya melebihi jam kantor. Profesi ibu rumah tangga tidak bisa disepelekan, mulai sebelum Subuh sampai tengah malam, ada saja pekerjaan  yang dilakukan. Apalagi kalau anak-anaknya masih batita (bawah tiga  tahun) dan balita (bawah lima tahun).

Semakin bertambah beban bila wanita sebagai ibu rumah tangga sekaligus wanita karier, peran ganda harus dijalani secara bersamaan antara domain domestik dan publik. Semua perlu perhatian, urusan rumah tangga tidak bisa dilepaskan begitu saja pada asisten rumah tangga (ART). 

Apalagi saat ini mencari ART yang mempunyai niat kerja dengan jujur, berkomitmen, telaten, sabar, bertanggung jawab sangat sulit. Gangguan handphone sudah tidak bisa dihindarkan lagi, ART remaja persoalan semakin komplek, yang berpotensi ganti-ganti ART menjadi persoalan tersendiri.

Wanita sebagai PNS/ASN yang mendapat tunjangan kinerja (tukin) tuntutannya semakin tinggi untuk meningkatkan kinerja dan profesioalisme. Minimal jam kerja harus ditaati, disiplin, selama 9 (sembilan) jam, waktunya dihabiskan di tempat kerja. Tekanan, tuntutan, persoalan di rumah dan di tempat kerja bila tidak disikapi dengan sabar, ikhlas, niat ibadah, semangat, sangat berpotensi menimbulkan “stres”, dan sakit. Kondisi ini semakin membuat lingkungan, suasana di rumah dan di kantor menjadi tidak nyaman dan tidak menyenangkan.

Baca Juga:Tunjangan Kinerja Apa Dampaknya ?

Khususnya lingkungan kerja di kantor, suasana hati di rumah yang tidak nyaman, sedih bila “terbawa” di ruangan kerja dapat berpengaruh dengan teman-teman kantor. Akibatnya lingkungan kerja menjadi tidak kondusif untuk bekerja secara optimal, sehingga pimpinan perlu tanggap dengan suasana batin bawahan. Lingkungan kerja adalah kehidupan sosial, psikologis, dan fisik dalam perkantoran yang berpengaruh terhadap pegawai dalam melaksanakan tugasnya. 

Lingkungan kerja yang kondusif, nyaman, aman, menyenangkan, baik secara sosial, psikologi, dan fisik membuat pegawai betah, sehingga dapat meningkatkan kinerja dan  produktivitas kerja. Lingkungan sosial, dalam interaksi sesama pegawai dengan sikap, perilaku, watak, karakter yang berbeda-beda tiap pegawai. 

Lingkungan psikologi mempengaruhi hubungan sosial (beban kerja, ketidak adilan, pengawasan buruk, frustasi, perubahan jenis pekerjaan, konflik pribadi dan kelompok).Sedang lingkungan fisik berkaitan dengan sarana prasarana kantor (lampu, AC, meja kusi kerja, ventilasi udara, komputer, mushola, kantin, toilet, dan lain-lain).

Menrut Everett Hagen dalam A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (2005:7) dikatakan:” ada kecenderungan sebagian besar SDM masih memiliki kecerdasan emosi (EQ) yang kurang baik (sifat iri hati, dengki, benci, sakit hati, dendam, minder, mudah depresi, mudah marah, tidak suka orang lain (bawahan, rekan kerja, atasan) lebih sukses, saling menjatuhkan kawan sekerja dan menfitnah rekan sendiri”.

Sumber: loreal.co.id
Sumber: loreal.co.id
Sosok Kartini yang lebih diidentikkan sebagai pekerja/pegawai  wanita, membuat lingkungan kerja “rentan konflik”, mulai dari hal sepele iri hati dengan baju, sepatu, kacamata, dan asesoris sampai ke hal kekayaan, karier, prestasi. Pekerja wanita yang jujur, sopan, ramah, profesional, bertanggung jawab, disiplin, berdedikasi, kompeten, berprestasi selalu menjadi bulan-bulanan para “pecundang”.

Terjadilah persaingan tidak sehat, dengan berbagai cara menyebar fitnah, gosip, hoaks, ghibah, memutar balikkan informasi, mendebat, ingin menjatuhkan dengan memberi pengaruh kepada teman dan pimpinan.

Sosok wanita kalau posisi sebagai bawahan selalu membuat kegaduhan, keributan, suasana tidak tenang, kurang puas, tidak mensyukuri, merasa kurang, menuntut tanpa pernah meningkatkan kinerja. Bekerja tidak ikhlas selalu mengharapkan “nilai rupiah” ketika diminta kerja tambahan di dalam jam kerja. Membuat laporan “palsu” Asal Bapak Senang (ABS), dan Asal Ibu Senang (AIS) kepada pimpinan, semua dilakukan untuk menutupi kekurangnnya dan kualitas kinerja yang rendah.

Bila posisinya sejajar,  sering “mencuri” ide temannya diakui sebagai idenya sendiri biar mendapat apresiasi atasan, isi hatinya “jahat”, seperti buah kedondong (diluar halus, di dalam berduri), licik dan pandai bersilat lidah, menjatuhkan/menusuk teman dari belakang dengan “memperalat pimpinan”. 

Tindakan ini untuk mengelabuhi ketidakjujuran, perilaku buruknya, agar tidak terdengar oleh pimpinan. Pegawai bermasalah ini biasanya mempunyai “hutang” banyak, karena pola hidup yang ingin di “WAH” kan/dianggap hebat, kaya, sejatinya dari utangan, gali lubang tutup lubang, dikejar-kejar bank, dan rentenir.

Namun pegawai wanita yang mendapat kesempatan sebagai pimpinan lebih “sadis” dalam menerapkan aturan kaku, kejam (lebih kejam dari ibu tiri), tidak bijaksana, “hilang keibuannya”, berlaku tidak adil. Apalagi bila ada pegawai perempuan yang melebihi dalam hal prestasi, harta, keluarga, pangkat semakin tidak mempunyai hati nurani, tega “membunuh” karier bawahannya, supaya tidak melaju melebihi posisinya. Sungguh pimpinan yang tidak mempunyai perasaan dan tidak menghargai “proses” meniti karier itu dengan perjuangan dan air mata.

Sosok Kartini di lingkungan kerja diakui tidak semuanya  memiliki karakter tersebut, karena yakin masih ada yang mempunyai  hati nurani, keibuan, tegas, disiplin, cerdas, budi pekerti luhur dan karakter yang baik. Namun kenyataan yang tidak terbantahkan di semua lini perkantoran dan/perusahaan pasti menemukan sosok  dengan karakter buruk.

Kondisi ini membuat lingkungan kerja tidak kondusif karena modelnya menginjak bawahan, menyikut kanan kiri, dan menjilat atasan. Aura batiniah yang penuh ego dan ambisius memancarkan wajah “monster” yang menakutkan dan menjijikkan.

Kalau sudah begini bikin “baper”, bagi orang-orang yang kurang semangat , motivasi rendah dan cepat putus asa. Jalan pahitpun ditempuh pindah kerja atau “menarik diri/resign” dari lingkungan kerja yang “konyol” itu, karena dapat menganggu kesehatan (fisik, psikis, sosial). Namun bagi yang kuat, tahan banting, bersemangat tinggi, tetap bertahan dan melawan gosip, fitnah, hoaks, dengan “prestasi”. 

Baca Juga:Teori Bola Bila Ditekan Keras Justru Melejit ke Angkasa

Namun prestasi itu justru membuat pimpinan perempuan semakin “nafsu” untuk membinasakan bawahannya karena mendapat apresiasi pimpinan tertinggi lembaga. Memang aneh, lingkungan kerja yang banyak sosok Kartini namun “peradabannya” justru mundur kebelakang. Sangat disayangkan cita-cita Kartini disalahgunakan dan dinodai oleh “oknum” yang tidak bertanggungjawab.

Yogyakarta, 20 April 2018 pukuk 11.07

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun