Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Angkat Film Anak Bertema Pendidikan

7 April 2018   12:27 Diperbarui: 7 April 2018   12:53 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para sineas (orang yang ahli tentang cara dan teknik pembuatan film) Indonesia luar biasa, dengan setia tetap memproduksi film layar lebar ditengah gemburan dan godaan sinetron yang semakin “mati gaya” karena temanya yang tidak “membumi”.  Mereka insan-insan yang mempunyai idealisme untuk tetap menjadi “tuan rumah” di negeri sendiri, disaat gedung bioskop gulung tikar dan masuknya film-film asing.

Praktek monopoli group 21 cineplex di Indonesia yang membangun imperium bisnis sejak tahun 1986, memaksa gedung-gedung bioskop di penjuru Indonesia berubah menjadi gedung kosong, gelap, sunyi, dan rata dengan tanah. Revolusi perbioskopan di Indonesia sudah terjadi ketika cinema dapat hadir di rumah dan di smartphone. Tanpa sadar ratusan ribu orang yang mengandalkan hidup dari gedung bioskop dengan “ikhlas” beralih profesi sesuai dengan keahliannya.

Masa kejayaan bisnis bioskop di kota kecil, sedang dan besar berakhir, seiring dengan perubahan jaman karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tanpa bisa dilawan. Hanya ada dua (2) pilihan minggir, atau tetap bertahan dengan perubahan dan penyesuaian sesuai dengan tuntutan era digital dan konsumen “jaman now” yang memilih kepraktisan, sekali jalan dapat banyak keperluan terpenuhi. Hadirnya bioskop di mall-mall sebagai solusi mendekatkan hiburan dengan konsumen, “cuci mata”, sekaligus nonton bioskop, dalam area yang sama.  

Mengingat menonton film bukan menjadi kebutuhan pokok (primer), maka konsumen adalah golongan kelas menengah keatas, biasanya kaum “hedonis”(pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup). Untuk golongan bawah jaman dulu sering ada pemutaran film “misbar”(gerimis bubar), karena diputar di tanah lapang yang terbuka, ketika gerimis penonton membubarkan diri. Namun saat ini sudah jarang ada pemutaran film “misbar”, adanya warung misbar yaitu wisata kuliner di Bandung dengan konsep makan sambil nonton film.

Tema-tema film yang diangkat dari novel “best seller”, biasanya lebih diminati, daripada film yang ceritanya di tulis oleh penulis skenario. Alasannya novel “best seller” sudah mempunyai pembaca, ketika dibuat film minimum pembaca novel akan menonton filmnya. Film tanpa ada penulis naskah/skenario sama saja tidak ada film. Roh dari film adalah para penulis naskah/skenario, sutradara adalah jiwa dari film, namun bila film “booming”, sutradara lebih terkenal daripada penulis naskah.

Masalahnya, menurut Joko Anwar:” Indonesia kekurangan penulis skenario film yang beragam dari tema dan cerita, sehingga penonton bosan dan menjauh dengan film Indonesia (https://hot.detik.com). Sengkarut film anak, tema, dan langka penulis skenario ini kuncinya ada pada penulis, yang berkaitan dengan penghargaan secara material dan moral. Jamak penulis yang telah mengeluarkan waktu, energi, pikiran dan tenaga hampir tidak pernah mendapat penghargaan yang memadai bila dibandingkan dengan para atlet. Penulis buku misalnya mendapatkan “royalty” sebesar 15 pesen dari harga buku, dipotong PPh sebesar 10 persen, dan belum kalau “dibajak” oleh orang yang tidak bertanggungjawab.

Film bertema pendidikan seperti “Laskar Pelangi”, masih diperlukan, ada perjuangan anak desa untuk meraih “mimpi” dengan pendidikan. Film yang diangkat dari novel Andrea Hirata, mengisahkan Ikal dengan teman-teman yang sekolah ruang kelas yang bocor ketika hujan, pintu rusak sehingga kambing dan ayam leluasa masuk kelas. 

Perjuangan Ikal dan teman-teman menuju ke sekolah penuh rintangan, ketemu buaya di jalan, tetap semangat untuk tetap sekolah. Ketika lomba  cerdas cermat, dapat mengalahkan sekolah yang lebih lengkap fasilitasnya. Film garapan Riri Riza yang menampilkan sosok guru Muslimah semakin menambah makna film pendidikan ini menjadi tontonan, tuntunan, dan hiburan.

Namun setelah film “Laskar Pelangi” yang syarat dengan pesan dan kritikan santun untuk pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan di Indonesia tentang kondisi sekolah di daerah tiga (3) T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Anak-anak di daerah 3 T memerlukan perhatian dari siapapun bukan hanya pemerintah, tetapi juga perusahaan dengan memberikan sebagian keuntungannya melalui Corporate Social Responsibility (CSR),sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan kepada seluruh pemangku kepentingan termasuk lingkungan perusahaan.

Film tema pendidikan dengan ragam dan corak yang berbeda masih diperlukan untuk memberikan energi positif kepada anak-anak di daerah 3 T bahwa pendidikan dapat merubah kualitas hidupnya lebih baik. Guru dan para sarjana yang bersedia ditempatkan di daerah 3 T adalah “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, yang dengan tulus ikhlas mengabdikan jiwa raganya utuk kelangsungan pendidikan bagi anak didiknya.

Yogyakarta, 7 April 2018 pukul 12.23

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun