Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Informasi Sehat Versus Informasi Hoaks

5 April 2018   15:57 Diperbarui: 5 April 2018   22:36 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” (pasal 28 F UUD 1945). Artinya untuk melakukan komunikasi dan mendapatkan informasi adalah hak setiap orang yang tidak boleh diganggu dan diabaikan. Namun demikian tidak semua informasi itu dapat menjadi milik publik, mengingat masih ada informasi yang bersifat rahasia.

Selain itu informasi yang diperoleh dan disebarkan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran, asli, valid, akurat, dari sumber terpercaya. Bukan informasi yang dapat membingungkan, meresahkan, apalagi menimbulkan kebencian dan memecah belah.

Revolusi teknologi informasi dan komunikasi terbukti berdampak luar biasa pada ledakan informasi (explosion of information), mudah diperoleh dengan gawai (smartphone), yang dapat diakses kapan dan dimanapun asal tersambung oleh internet. Informasi apapun dari belahan dunia manapun dapat langsung didengar, dibaca dan dilihat. Ledakan informasi tidak dapat dicegah, dihindari ataupun ditunda, namun bisa disikapi dengan arif dan bijaksana

Disisi lain tidak semua informasi mempunyai manfaat bagi umat manusia dalam menjalani kehidupannya, namun sebaliknya justru “melukai dan mengkoyak” rasa persatuan dan kesatuan. Memberi informasi sehat menjadi kewajiban bagi negara, pemimpin, pejabat publik, tokoh masyarakat, alim ulama, pendeta, bhiksu, berbagai komunitas profesi, lembaga pemerintah dan swasta. Informasi sehat menjadi hak azasi bagi setiap orang, yang berfungsi sebagai alat mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, menambah wawasan dan pengetahuan sebagai bekal dalam kompetisi kehidupannya.

Menurut UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dikatakan bahwa:”setiap orang berhak mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi, dengan segala jenis saluran yang tersedia”. Selanjutnya dikatakan bahwa:”teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena karena selain memberikan kontribusi bagi kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum”.

Informasi sehat saat ini sangat dibutuhkan oleh setiap orang sebagai penyeimbang informasi hoax akibat perkembangan teknologi komunikasi. Infomasi saat ini cenderung dicerna tanpa ada filter untuk memilih dan memilah informasi yang sehat (bermanfaat) dan informasi sampah (hoax) yang menyesatkan dan mengadu domba.

Dalam ilmu kesehatan arti sehat menurut WHO :”sehat adalah suatu keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental, dan sosial, yang tidak hanya bebas dari penyakit dan kecacatan”. (Sutaryo, 2016:6). Apabila arti sehat itu diadopsi untuk memberi makna informasi sehat adalah informasi yang memberi manfaat, pencerahan, wawasan, pengetahuan dan berguna bagi kehidupan lahir batinnya. Artinya seseorang mendapat informasi yang sehat dapat memberi asupan gizi bagi tumbuh kembang fisik, psikis, sosial, moral dan mental.

Informasi sehat menumbuhkan rasa nyaman, tenang, bahagia, syukur, toleran, saling menghargai dan menghormati, hidup rukun, damai dalam keberagaman dan perbedaan, sehingga menumbuhkan rasa persaudaraan, persatuan dan kesatuan yang erat, tidak bercerai berai dalam permusuhan dan perselisihan paham.

Sebaliknya informasi hoax  isinya membingungkan, memutarbalikkan fakta dan data, tidak bisa dipertanggungjawabkan, bertentangan denga norma susila, agama, adat, dan hukum, berpotensi menimbulkan permasalahan dan perbedaan persepsi, yang cenderung memutuskan persaudaraan

Untuk mewujudkan informasi sehat bagi generasi digital native, perlu peran orang tua, pemimpin, tokoh masyarakat, alim ulama, pendeta, public figure, yang dapat memberi suri teladan dalam setiap tindakan, sikap, ucapan, tulisan. Peran yang dapat dilakukan sebagai filter untuk memilah dan memilih informasi yang sehat.

Bukan saja menjadi ranah pemerintah untuk memblokir situs informasi yang tidak sehat, namun elemen masyarakaat juga mempunyai kewajiban yang sama. Bukti masyarakat yang sadar informasi sehat adalah munculnya berbagai pernyataan dan sikap menolak informasi “hoax”, di berbagai wilayah dan lapisan masyarakat.

Media massa (cetak) dan digital mempunyai peran dan kewajiban yang sama untuk menfilter informasi hoax.  Profesi pustakawan pun mempunyai peran signifikan dan strategis dalam menyediakan informasi sehat. 

Kompetensi intelektual, profesional, spiritual, dan emosional yang dimiliki oleh pustakawan diharapkan mampu untuk menjadi filter dalam membantu, mendampingi, memilih dan memilah informasi yang ada. Artinya yang diberikan/disediakan kepada pemustaka adalah informasi yang benar, dapat dipercaya, valid, nyata, dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini logis karena koleksi, data di perpustakaan berasal dari hasil penelitian, pemikiran kritis, pengamatan, yang dilakukan oleh para ahlinya.

Pustakawan secara pribadi harus bersikap tegas, bijaksana, dan beretika, ketika mendapat informasi hoax (informasi tidak sehat) dari media sosial untuk mencermati, mengklarifikasi, menfilter, memilih, memilah. Jadi tidak dengan “emosi dan semangat” langsung di copy paste ke orang, media sosial, group lain.

Hal ini dimaksudkan mengingat pustakawan sebagi garda pengetahuan yang harus menjadi panutan bagi generasi digital native, dengan sikap dan etika ketimurannya. Bukan  larut dalam euphoria ketidak pastian dan menjadi bagian menyebarkan informasi hoax. Tidak perlu dengan deklarasi dan pernyataan menolak informasi hoax, secara moral dan keprofesian pustakawan menyediakan informasi sehat bagi pemustaka merupakan tugas yang mulia. 

Baca Juga: Profesi Pustakawan  di Mata Najwa

Kesimpulannya, informasi sehat mempunyai manfaat menjalin persatuan dan kesatuan daripada informasi hoax yang tidak dapat dipercaya dan cenderung memecah belah kedamain, dan melukai kebhinekaan tunggal ika. Pustakawan wajib memberikan infomasi sehat bagi pemustaka, dan menghindari informasi hoax dengan sikap arif dan bijaksana. Diam adalah emas lebih baik daripada langsung menyebarkan informasi hoax kepada orang lain, media, dan group media sosial.

Perlawanan dan penangkalan informasi hoax perlu gerakan bersama lintas profesi, status, wilayah dan secara terus menerus serta komprehensif. Kampus sebagai gerbang dan penjaga gawang pengetahuan perlu memberi pembelajaran literasi media secara sehat dan kritis, agar tersedia informasi sehat.

Yogyakarta, 5 April 2018 pukul 15.39

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun