Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ketika Anak Kecanduan Permaian Gim Daring , Apa Solusinya?

4 Maret 2018   08:30 Diperbarui: 4 Maret 2018   08:56 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:dubaieye1038.com

Permainan anak-anak jaman "old" dan jaman "now", jelas berbeda karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat. Anak-anak jaman "old" saat ini usianya sudah lebih dari 38 tahun yaitu masuk generasi baby boomer (1946 - 1964) dan generasi X (1965 - 1980). Sedang anak-anak jaman "now", usianya dibawah 38 tahun yang dikenal sebagai generasi milenial/gadget, yaitu generasi Y (1981 - 1994), generasi Z (1995 - 2010), dan generasi alpha (2011 -2025 ). 

Anak jaman "old" permainannya tradisional yang melibatkan banyak anak untuk kerja tim, dan bersosialisasi (gobak sodor, sendah mandah, petak umpet, kelereng/gundu, lompat tali, egrang, bentik, ular naga, bekelan, dakon, dan lain-lain). Sedang anak jaman "now", permainan mandiri, tanpa melibatkan anak lain, karena bisa mengunduh dari smarphone yang dimiliki oleh setiap orang.  

Permaian game online, awalnya untuk hiburan, mengisi waktu luang, dan refreshing, dari kegiatan rutinitas misalnya sekolah, kerja. Namun saat ini permaianan ini sudah digemari oleh semua kalangan dan lapisan masyarakat karena kemudahan akses internet, sehingga dapat dilakukan kapan dan dimana saja. 

Diakui, intenet memberi banyak manfaat dan kemudahan untuk semua aspek kehidupan (ekonomi, pendidikan, perbankan, politik, hukum, sosial, dan budaya). Saat ini setiap orang tidak bisa lepas dari smartphone, selalu menjadi teman setia setiap saat dan tidak boleh ketinggalan di rumah. Tanpa smartphone seseorang bisa "mati gaya", dan pasti ketinggalan informasi.

 Semua kejadian dan informasi dari belahan dunia manapun ada dalam genggaman tangan, yang bisa dibuka setiap saat, asal terkoneksi ke jaringan internet. Kondisi yang serba tanpa batas (borderless) wilayah, terirorial, budaya, kekuasaan, negara telah memberi banyak keuntungan, dan kerugian. 

Salah satu kerugian dari internet adalah permaian game online,karena dapat kecanduan/ketergantungan mulai tingkat ringan, sedang dan berat. Sasaran utama permainan game online ini adalah kelompok usia anak-anak dan remaja, walaupun orang dewasa juga bisa kecanduan. 

Main game sebenarnya tidak seburuk sangkaan, asal masih dalam batas normal. Artinya untuk penghilang stres ketika menghadapi setumpuk pekerjaan yang kejar tayang dan waktunya masih normal (kurang dari 1 jam). Namun akan merugikan bila sudah melebihi batas normal, seharian bahkan berhari-hari asyik bermain game online, dan "terlanjur" kecanduan. 

Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2018 berencana menerbitkan buku panduan International Classification of Diseases (ICD-11), dengan memasukkan kecanduan main game sebagai salah satu kategori gangguan jiwa baru, disebut gaming disorder (GD). Gaming disorder diusulkan untuk dimasukkan dibawah kategori besar "Gangguan mental, perilaku, dan perkembangan saraf" khususnya di bawah sub kategori"Gangguan penyalahgunaan zat atau perilaku adiktif" (nationalgeographic.co.id).

Ada dua (2) hal yang bisa dilakukan dalam mensikapi permainan game online. Pertama, upaya preventif lebih baik mencegah dari pada mengatasi kecanduan permaian games online. Caranya:

  1.  Orangtua menjadi kunci untuk mengarahkan, mendampingi, mengawasi, membatasi, dan menjelaskan dengan contoh untung ruginya memanfaatkan smartphone, apalagi  bermain games online.
  2. Sebaiknya tidak membiasakan smartphone menjadi "senjata" untuk menghentikan anak menangis, merengek, ngambek, ribut, ramai (berisik), dan bikin olah.
  3. Lebih bijaksana bila orang tua tidak selalu menuruti permintaan anak menfasilitasi peralatan untuk main game online.
  4. Menjalin komunikasi efektif dua arah orang tua dan anak, sesibuk apapun pekerjaan dan tugasnya, agar anak "merasa" mendapat perhatian dan kasih sayang. Perlu dipahami kasih sayang bukan berarti memberi uang banyak dan fasilitas lengkap apalagi mewah untuk keperluan anaknya.
  5. Bersikap tegas dan bijaksana bila anak-anak sudah mulai "asyik" dengan smartphone dan bermain game online. 
  6. Perlu melakukan negosiasi dengan anak kapan, dimana, dan berapa jam maksimum boleh bermaian game online per hari/per minggu.
  7. Membuat perjanjian orangtua dan anak yang berisi kewajiban dan hak masing-masing pihak, dengan disertai sanksi yang mendidik bila perlu ketika ada pelanggaran. 
  8. Seisi rumah (orangtua, anak, dan anggota keluarga lain) harus sepakat dan saling mengingatkan dalam memberlakukan perjanjian.
  9. Orangtua menjadi teladan bagi anak-anaknya, khususnya dalam memanfaatkan smarphone di rumah atau dimanapun berada ketika sedang bersama anak-anaknya.
  10. Memberi dukungan penuh atas usulan anak-anak untuk fasilitas internet, dan langganan TV kabel, asal untuk tujuan pendidikan dan menambah wawasan
  11. "Membeli" lingkungan dalam masyarakat dan "membeayai" lingkungan di sekolah, karena lingkungan masyarakat dan sekolah yang baik akan memberi pengaruh penting untuk tumbuh kembang anak dan dalam bersosialisasi dan bermasyarakat.

Kedua, bila anak sudah "terlanjur" kecanduan permainan game online,  dengan ciri asyik bermainan sendiri, marah bila diganggu, berhari-hari tidak keluar kamar, menarik diri  dari lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat, orangtua tidak perlu saling  menyalahkan, apalagi menyesali. Lebih bijak segera mencari solusi untuk  mengatasinya, dengan cara:

  1. Melakukan pendekatan, perhatian, komunikasi, dari hati ke hati, dengan rasa sayang, dan kelembutan.
  2. Menghindari berkata kasar, apalagi memarahi dan memberi hukuman, karena sudah "terlanjur" kecanduan.
  3. Menyentuh perasaannya dengan nilai-nilai keagamaan, sosial, dan kemanusiaan.
  4. Membuka wawasan pemikiran bahwa tindakannya itu akan sangat merugikan bagi diri dan lingkungannya.
  5. Orangtua dapat minta bantuan ahli agama, orang yang disegani, guru dan teman sekolah yang paling dikenal.
  6. Mengkonsultasikan dan membawa kepada dokter, psikiater untuk melakukan pengobatan dan terapi.
  7. Bila tidak mau keluar kamar, atau rumah, mendatangkan para ahli itu untuk melakukan konsultasi, pengobatan da terapi.
  8. Melakukan upaya paksa dengan meminta bantuan pada pihak-pihak yang mempunyai kompetensi untuk melakukan "pemaksaan", untuk dibawa ke poliklinik atau rumah sakit.
  9. Setelah upaya-upaya dilakukan, akhirnya sebagai orangtua hanya bisa pasrah, dan mendoakan kesembuhan anaknya agar dapat menjalani kehidupan yang normal.
  10. Menjauhkan atau menghilangkan semua peralatan/fasilitas yang berkaitan dengan permainan game online.
  11. Mengembalikan dan memasukkan anak pada lingkungan sosialnya (keluarga, sekolah, masyarakat), dan mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang positif (olah raga, kesenian, touring, traveling, dan lain-lain).

Memang tidak mudah dan berat untuk memulihkan anak dari kecanduan permainan game online, dan tidak membiarkan berlarut sehingga kondisi anak semakin parah. Upayakan sesegera mungkin, lebih baik terlambat daripada tidak segera memutuskan dan mengambil tindakan. Kalau memang harus melakukan "upaya pemaksa" kenapa tidak ?. Tidak tega, kasihan, malu dengan tetangga sekitarnya pasti sangat dirasakan orangtua, namun lebih kasihan dan tidak tega ketika melihat anaknya semakin parah kondisinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun