Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com
Permainan anak-anak jaman "old" dan jaman "now", jelas berbeda karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat. Anak-anak jaman "old" saat ini usianya sudah lebih dari 38 tahun yaitu masuk generasi baby boomer (1946 - 1964) dan generasi X (1965 - 1980). Sedang anak-anak jaman "now", usianya dibawah 38 tahun yang dikenal sebagai generasi milenial/gadget, yaitu generasi Y (1981 - 1994), generasi Z (1995 - 2010), dan generasi alpha (2011 -2025 ).
Anak jaman "old" permainannya tradisional yang melibatkan banyak anak untuk kerja tim, dan bersosialisasi (gobak sodor, sendah mandah, petak umpet, kelereng/gundu, lompat tali, egrang, bentik, ular naga, bekelan, dakon, dan lain-lain). Sedang anak jaman "now", permainan mandiri, tanpa melibatkan anak lain, karena bisa mengunduh dari smarphone yang dimiliki oleh setiap orang.
Permaian game online, awalnya untuk hiburan, mengisi waktu luang, dan refreshing, dari kegiatan rutinitas misalnya sekolah, kerja. Namun saat ini permaianan ini sudah digemari oleh semua kalangan dan lapisan masyarakat karena kemudahan akses internet, sehingga dapat dilakukan kapan dan dimana saja.
Diakui, intenet memberi banyak manfaat dan kemudahan untuk semua aspek kehidupan (ekonomi, pendidikan, perbankan, politik, hukum, sosial, dan budaya). Saat ini setiap orang tidak bisa lepas dari smartphone, selalu menjadi teman setia setiap saat dan tidak boleh ketinggalan di rumah. Tanpa smartphone seseorang bisa "mati gaya", dan pasti ketinggalan informasi.
Semua kejadian dan informasi dari belahan dunia manapun ada dalam genggaman tangan, yang bisa dibuka setiap saat, asal terkoneksi ke jaringan internet. Kondisi yang serba tanpa batas (borderless) wilayah, terirorial, budaya, kekuasaan, negara telah memberi banyak keuntungan, dan kerugian.
Salah satu kerugian dari internet adalah permaian game online,karena dapat kecanduan/ketergantungan mulai tingkat ringan, sedang dan berat. Sasaran utama permainan game online ini adalah kelompok usia anak-anak dan remaja, walaupun orang dewasa juga bisa kecanduan.
Main game sebenarnya tidak seburuk sangkaan, asal masih dalam batas normal. Artinya untuk penghilang stres ketika menghadapi setumpuk pekerjaan yang kejar tayang dan waktunya masih normal (kurang dari 1 jam). Namun akan merugikan bila sudah melebihi batas normal, seharian bahkan berhari-hari asyik bermain game online, dan "terlanjur" kecanduan.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2018 berencana menerbitkan buku panduan International Classification of Diseases (ICD-11), dengan memasukkan kecanduan main game sebagai salah satu kategori gangguan jiwa baru, disebut gaming disorder (GD). Gaming disorder diusulkan untuk dimasukkan dibawah kategori besar "Gangguan mental, perilaku, dan perkembangan saraf" khususnya di bawah sub kategori"Gangguan penyalahgunaan zat atau perilaku adiktif" (nationalgeographic.co.id).
Ada dua (2) hal yang bisa dilakukan dalam mensikapi permainan game online. Pertama, upaya preventif lebih baik mencegah dari pada mengatasi kecanduan permaian games online. Caranya:
Kedua, bila anak sudah "terlanjur" kecanduan permainan game online, dengan ciri asyik bermainan sendiri, marah bila diganggu, berhari-hari tidak keluar kamar, menarik diri dari lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat, orangtua tidak perlu saling menyalahkan, apalagi menyesali. Lebih bijak segera mencari solusi untuk mengatasinya, dengan cara:
Memang tidak mudah dan berat untuk memulihkan anak dari kecanduan permainan game online, dan tidak membiarkan berlarut sehingga kondisi anak semakin parah. Upayakan sesegera mungkin, lebih baik terlambat daripada tidak segera memutuskan dan mengambil tindakan. Kalau memang harus melakukan "upaya pemaksa" kenapa tidak ?. Tidak tega, kasihan, malu dengan tetangga sekitarnya pasti sangat dirasakan orangtua, namun lebih kasihan dan tidak tega ketika melihat anaknya semakin parah kondisinya.