Beberapa hari lalu anak saya bercerita tentang bisnis, bertani, investasi. Berbagai pertanyaan pun diajukannya mulai dari benih, bibit, hasil panen, penjualan gabah dan cara menginvestasikannya agar bertumbuh.
Ini bukan obrolan pertama, sebelumnya sering dibahas, tetapi hanya sebatas obrolan santai. Anak-anak pun belum nangkep karena pikirannya belum sampai pada persoalan itu.Â
Obrolan kemarin berbeda, selain usia mereka sudah cukup, pengetahuan pun bertambah. Namun, saya tidak menghendaki anak-anak memegang tanggung jawab pertanian sekarang. Jika sudah masanya, tongkat estafet akan ke tangan mereka, saat ini biar kuliah.
Meski demikian, anak-anak tetap dikenalkan pada pekerjaan orangtuanya agar di masa depan lebih siap dan tidak malu. Langkah-langkah kecil sudah dilakukan, misalnya kirim makanan ke sawah, menimbang hasil panen, kirim karung ke pekerja dan lain sebagainya.
Selain itu saya membiarkan anak berinteraksi dengan pekerja. Dia bisa bertanya apa saja terkait sawah. Belajar ilmu pertanian dari siapa saja dan tidak bisa sekali atau setahun, selagi ingin bisa harus terus belajar.Â
Manfaat Bertani bagi Gen ZÂ
Seperti kita ketahui sedikit sekali gen Z mau bekerja di sektor pertanian. Mereka menganggap dunia pertanian tidak memiliki masa depan.Â
Anggapan mereka keliru, faktanya dunia pertanian menjanjikan karena masyarakat Indonesia bergantung pada nasi. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut tentunya produksi padi harus tinggi. Sementara dari tahun ke tahun hasil panen terus menurun.
Menurut data BPS tahun 2024 produksi padi 53,14 juta ton GKG. Ini mengalami penurunan 1,55 persen dibandingkan produksi tahun 2023.
Penurunan hasil panen bukan saja karena luas lahan yang menyempit, tetapi regenerasi petani pun memengaruhi. Meski sudah zaman digital, sektor pertanian di Indonesia belum padat teknologi, tetapi masih padat karya. Gen Z sebagai pewaris harus campur tangan dalam hal ini.