Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Petani, Penulis

People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Memahami Bahasa Daerah Mertua Penting Supaya Tidak Terjadi Salah Paham

19 Maret 2021   14:14 Diperbarui: 19 Maret 2021   14:41 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar dari Nusabali.com (Hubungan Baik dengan Mertua)

Menikah dengan siapa, dari mana, tidak ada yang tahu. Harapannya mungkin dengan laki-laki atau wanita yang satu daerah, bahasa sama, adat istiadat sama, Jangan khawatir untuk satu Negara sepertinya tidak masalah karena ada bahasa pemersatu yakni bahasa Indonesia. Untuk beda Negara juga tidak apa-apa, ada bahasa Inggris yang bisa menyambung komunikasi.

Eh ... dulu saya juga berpikir begitu, selama dapat orang Indonesia, nyaman-nyaman saja. Semua orang Indonesia akan paham bahasa sendiri. Ternyata dugaan itu salah. Untuk orang tertentu apalagi sudah sepuh bahasa daerah masih tetep jadi nomor satu.

Mereka yang tinggal di desa masih banyak yang tidak menggunakan bahasa Indonesia. Seperti Ayah dan Ibu mertua. Saya memanggil Ayah mertua dengan sebutan Nange dan Ibu mertua dengan sebutan Mae.

Pasti sudah menebak, saya menikah dengan orang Jawa. Hehe ...

Jawa ke Sunda sebetulnya tidak terlalu banyak perbedaan dalam bahasa daerah. Hampir mirip-mirip, bahkan ada kata yang sama jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia. Namun, bagiku susah sekali mengucapkannya, apalagi bahasa Jawa halus.

Itu sebabnya sejak menikah saya berubah menjadi pendiam. Banyak nyimak daripada bicara. Walaupun ada teori, kalau ingin cepat bisa bahasa harus sering praktik. Kenyataan saya hanya bisa mboten, nggih. Bahasa jawa kasar mungkin saya bisa, tetapi ya jarang dipakai, sekadar paham.

Ada beberapa kata bahasa Jawa ngoko menurut saya kasar kedengarannya, tetapi menurut Pak Suami tidak kasar. Seperti kata koe. koe sering digunakan sebagai kata ganti kamu. Kata itu terdengar kasar di telinga saya, hingga akhirnya sampai saat ini Pak Suami tidak pernah memakai bahasa koe kepada saya.

Butuh kerja keras untuk memahami bahasa daerah yang digunakan mertua. Namun, tidak begitu lama. Hanya pada saat pembelajaran, pernah ada salah paham.

Kata Pak suami sih karena mertua tidak memahami bahasa dan maksud saya. Kalau menurut si Kabayan, "Nu hiji ngaler, nu hiji ngidul," hehe ...

Untuk menghindari ketegangan dengan mertua gegara bahasa. Sebagai menantu, kita yang harus belajar bahasanya. Bukan mertua yang belajar dan mengikuti bahasa menantu. Apalagi ketika kita memutuskan membangun rumah tangga di daerah mertua. 

Satu lagi perbedaan yang mencolok yakni nada bicara. Terbiasa dengan nada turun dan panjang, ketika di Jawa nadanya tinggi menanjak. 

Capek kan dengarnya, eehh bukan hanya capek, tetapi takut juga. Kalau di keluarga, nada tinggi tandanya marah. Namun, di lingkungan Pak Suami itu sudah menjadi keseharian. Sebagai menantu harus banyak memahami dan maklum dengan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda. 

Memang butuh waktu untuk menyesuaikan, kita jangan bosan untuk belajar. Saya yakin dengan waktu juga mertua akan mamahami kita. Perbedaan itu indah jika disikapi positif.

Salam dari menantu.

Sri Rohmatiah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun