Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ku Tungggu Lamaranmu Setelah Wisuda

25 September 2013   05:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:26 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku adalah seorang wanita lajang berusia 29 tahun. Bagiku, usia tersebut bukanlah usia yang muda lagi. Meskipun orang disekitarku selalu beranggapan jika aku adalah seorang wonder woman, namunakuhanyalah seorang manusia biasa. Manusia yang terlahir sesuai dengan fitrahnya yaitu sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk ekonomi. Sebagai makhluk individu, aku berusaha memenuhi segala kebutuhanku seperti makan, minum, sandang (pakaian ) dan papan ( rumah / tempat tinggal). Dari segi makhluk ekonomi, aku berusaha memenuhi segala kebutuhanku tersebut dengan terus bekerja keras dan bekerja cerdas untuk mendapatkan penghasilan. Sedangkan fitrah yang ku jalani sebagai makhluk sosial, aku berusaha menjalin hubungan yang baik dengan lingkungan sosial disekitarku. Banyak orang beranggapan kehidupanku sangat sempurna. Memiliki pekerjaan dan jenjang karir yang jelas, penghasilan tetap, usaha yang kujalani pun berjalan lancar, memiliki banyak teman dan relasi, dan segala sesuatu yang kuinginkan tidak sulit untuk kuwujudkan. Bagaikan sebuah sulap Pak Tarno, mohon dibantu ya jadi apa ... tarraaaa... keinginanku langsung terwujud didepan mataku. Semua itu kuraih bukan seperti sulap pak Tarno yang serba instan. Mie instan saja masih butuh suatu proses untuk siap disajikan dan disantap. Yang kudapatkan selama ini membutuhkan proses yang panjang dan berliku. Dalam kamus hidupku, aku mengenal tiga fase peralihan seorang wanita. Fase tersebut yaitu fase koleksi, seleksi dan resepsi. Fase koleksi biasanya terjadi pada saat transisi dari anak – anak menjadi remaja. Pada fase tersebut, wanita memiliki kecenderungan untuk melakukan pendekatan dan dijadikan sebagai ajang “ngumpulin cowok yang cocok dengan feel kita” (kalo kata ABG sih begitu). Fase kedua yaitu fase seleksi, fase ini merupakan tindak lanjut dari fase koleksi. Setelah kita melakukan koleksi, kini saatnya memilih sesuai dengan kata hati kita. Kemudian menjalani sebuah hubungan yang terbingkai indah dalam sebuah kata “CINTA”. Jika hubungan tersebut memiliki komitmen yang kuat dilandasi dengan cinta yang tulus, maka akan berlanjut pada pelaminan dan bahtera rumah tangga yang diberkahi Tuhan. Aamiin ... Itulah yang diharapkan seluruh wanita dimuka bumi ini. Layaknya wanita lajang yang lain, aku juga mengharapkan seorang belahan jiwa yang akan mendampingiku hingga akhir hayat. Karena mengingat usiaku yang terhitung tak muda lagi. Mungkin sesuai dengan kamus hidupku, kini aku sedang berada dalam fase resepsi. Tapi hingga detik ini, aku belum juga menemui jodohku. Kenapa? Karena aku terlalu memandang pria secara perfeksionis? Bukan!. Karena pilih – pilih sesuai dengan kata hati? Bukan juga! Terus karena apa dong? Inilah jawabannya, karena aku masih memiliki trauma yang mendalam terhadap ikatan cinta yang serius. Dulu, aku pernah menjalani hubungan dengan seorang pria selama dua tahun. Ketika kami merayakan anniversary yang kedua, ia memberikan kado teristimewa dalam hidupku yaitu sebuah cincin pertunangan. Ia mengenakan cincin tersebut jari manisku dan ia berjanji akan segera meminangku setelah wisuda. Namun, hingga hari yang kunantikan telah tiba, kabar dan keberadaan tunanganku seakan raib ditelan bumi. Hancur! Kecewa! Sedih! Terluka! Itulah yang kurasakan hingga kini. Kabar dan alasannya mengapa ia meninggalkanku dihari bahagia tersebut pun tak pernah ku tahu. Mungkin kalo bahasa anak ABG sekarang, pria itu adalah “Pemberi Harapan Palsu (PHP)”. Sejak kejadian tersebut, aku berusaha menutup hatiku untuk pria. Karena kredibilitasku mulai berkurang terhadap para pria. Takut jika kejadian tersebut terulang kembali. Malam ini, aku mendapatkan undangan pernikahan dari salah satu teman kantorku. Rasanya kakiku ini enggan melangkah untuk menghadiri acara tersebut. Pasti aku akan menjadi bahan cemoohan teman – temanku. Kalimat inilah yang akan mereka lontarkan “Hai, si A sudah menikah, padahal mereka baru kenal beberapa bulan yang lalu, terus kamu kapan mau nyusul?”. Ahhhh ... sebuah pertanyaan retorika, pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Terkadang kutinggalkan mereka pergi tanpa sepatah katapun terlontar dari mulutku. Yahh manusia kan sudah memiliki garis hidup yang telah ditetapkan Tuhan, ibarat peribahasa “Takkan lari gunung dikejar”. Jika Tuhan sudah mengizinkan kita untuk dipertemukan dengan jodoh kita, maka akan tiba kok masanya untuk ke pelaminan. Setelah berpikir beribu – ribu kali, akhirnya kuputuskan untuk menghadiri acara pernikahan tersebut. Dengan balutan busana berwarna putih, high heel coklat, dan bandana berwarna hitam menghiasi rambutku, aku melangkahkan kaki memasuki gedung megah yang dihiasi dengan janur kuning, dan rangkaian bunga yang cantik semakin memperindah papan yang bertuliskan “Happy Wedding”. Aku mungkin bukan seorang peramal terkenal dan hebat seperti Mama Lauren ataupun Ki Joko Bodo. Namun prasangkaku ternyata benar, dalam acara tersebut hanya satu kalimat yang mereka lontarkan padaku “Kapan nyusul?”. Sebuahkalimat yang sederhana dan terdiri dari dua suku kata namun berdampak besar bagi sebuah hubungan, baik dampak positif maupun negatif. Jika ditinjau dari dampak positif, ucapan tersebut dapat memotivasi seseorang, sedangkan dampak negatif yang sering terjadi adalah membuat mental down dan pembunuhan karakter.Wow amazing... Lagi – lagi aku mengeluarkan jurus andalanku, “Ya udah nanti tenang aja, kalo udah waktunya juga pasti diundang kok”. Jika pertanyaan mereka sudah melebar dan tak terarah, kutinggalkan mereka untuk mencicipi hidangan yang telah tersedia. Acara pernikahan ini, bertemakan modern wedding dengan adat istiadat betawi. Hidangan yang disediakan sangat banyak,mulai dari makanan berat seperti nasi, gurame asem manis, daging asem manis, kerang saus padang hingga kerak telor. Namun, aku tertarik untuk mencicipi roti buaya dan zuppa soupdisalah satu sudut ruangan. Perlahan aku berjalan melewati kerumunan para tamu undangan. Pikiranku hanya terpusat pada roti buaya danzuppa soup. Waww ... rasanya roti buaya itu sudah melambai – lambai dan berkata “Ayoo segera cicipi aku”. Tiba – tiba “pranggg ... prinnggg...” (suara pecahan piring). “Ehh sorry – sorry ya? aku bener – bener enggak sengaja”. “Iya enggak apa – apa kok, sudah biar aku aja yang bersihin pecahan piringnya. Tangan kamu enggak apa – apa kan?”. “Hahh? Kamu?”. (saling memandang) “Ruby? Kamu lagi ngapain disini?”.

“Lagi menghadiri acara pernikahan temenku, kamu sendiri?”. “sama, pengantin prianya temen kantorku”. Kutatap matanya dan sesaat terbayang masa lalu yang kelam tersebut. Bergegas kutinggalkannya yang sedang sibuk membersihkan pecahan piring. “Ruby, tunggu!”. Aku tak menyangka jika hari ini aku akan bertemu kembali dengan Bagus, mantan tunanganku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, rasanya kesal jika teringat semua kesalahan yang telah ia lakukan padaku. Tapi, ketika kutatap matanya, tatapannya seolah – olah membangkitkan dan menumbuhkan kembali rasa cinta yang telah padam. “Hai Ruby, aku cari kamu kemana – mana, ternyata kamu disini”. “Iya”. “Kamu masih marah ya sama aku? Pasti kamu benci sama aku ya? enggak apa – apa kok kalo kamu mau melampiaskan semua kemarahan kamu dengan memukuli ataupun melakukan hal apapun yang kamu suka kepadaku. Aku rela, aku sudah melukai hati kamu”. “Aku sudah maafin kamu kok, kamu tenang aja. Ya sudahlah, kamu kan Cuma masa laluku saja”. “Terima kasih ya Ruby, kamu sudah bersedia maafin aku. Aku tahu aku salah, tapi satu hal yang perlu kamu ketahui, setelah acara wisuda itu, aku sudah mempersiapkan untuk acara pernikahan kita. Namun, orang tuaku berkata lain, mereka tiba – tiba mendapatkan tender jangka panjang di Amerika dan mereka membutuhkan tenaga ahli seperti aku. Aku harus membantu mereka, kupikir dengan penghasilan yang kudapat disana, aku akan mampu membiayai seluruh persiapan acara pernikahan kita tanpa campur tangan orang tuaku dan orang tua kamu. Jujur Ruby, aku malu sama kamu, aku malu sama orang tuaku, aku malu sama orang tua kamu. Aku ini seorang pria, aku akan menjadi imam untuk keluarga kecilku nanti. Masa kita harus disuapin terus sama orang tua kita? aku malu Ruby. Memang pernikahan kita dipaksakan oleh perjodohan orang tua kita, namun cinta dan sayangku tulus untukmu. Pada waktu itu kita masih berusia 22 tahun. Aku belum siap Ruby”. “Terus kenapa kamu menyanggupi untuk menyelenggarakan acara pernikahan kita kalo kamu belum siap? Bagiku, pernikahan itu sesuatu yang sakral dan bukan untuk bahan mainan seperti ini. Seharusnya kalo kamu memang belum siap, kamu bilang, komunikasikan semuanya sama aku sama orang tuaku. Jangan menghindar dari permasalahan seperti itu. Masalah ini sudah tujuh tahun lalu, Gus. Susah ya buat kamu menghubungi aku dari sana. Sekarang zamannya perkembangan teknologi dan gadget yang serba canggih untuk komunikasi, susah ya untuk melakukan komunikasi? Kepergian kamu ke Amerika itu bukan merupakan penyelesaian masalah, melainkan kamu sedang menumpuk dan menggantung permasalahan kamu hingga hari ini tiba, hari pertemuan kita yang tak terduga”. “Aku tahu aku salah Ruby, kamu boleh menghukum aku atas semua kesalahan yang telah kulakukan. Maaf Ruby. Aku baru pulang dari Amerika kemarin Ruby, dan harapanku adalah bertemu dengan kamu. Dan Tuhan telah mempertemukan aku dan kamu disini. Ruby, kumohon tatap mataku. Aku mau nanya beberapa hal sama kamu dan aku berharap kamu menjawab pertanyaanku dengan jujur. Apa kamu masih mencintaiku seperti dulu?”. “Bagus, asal kamu tahu, rasa cintaku sama kamu, enggak akan pernah padam dan pudar, bahkan ketika kamu pergi meninggalkanku, aku berharap bisa bertemu dengan kamu kembali bagaimanapun keadaan kamu. Dan hari ini adalah hari yang kutunggu sejak tujuh tahun yang lalu”. “Apakah kamu bersedia mengikat cinta kita dalam sebuah komitmen dan jenjang yang lebih serius ke pelaminan?”. “Enggak, aku takut kalo kayak dulu lagi?”. “Yah ... kok gitu? katanya kamu cinta sama aku? Emangnya kamu enggak mau menjalani bahtera rumah tangga bersamaku? Kan sekarang aku sudah mandiri, sudah enggak disuapin terus sama orang tuaku. Aku janji aku enggak akan ninggalin kamu seperti dulu. Hukum aku kalo sampe itu terjadi lagi?”. “Iya, aku bercanda, Gus. Aku mau menikah dengan kamu. Janji ya?”. “Janji, aku janji sama kamu. ehh tapi aku sekarang lagi menyelesaikan tesisku untuk S2 di Amerika? Gimana dong? Kamu mau nunggu sampe aku mendapatkan gelar S2 ku?” “Yah ... entar kayak dulu lagi, aku udah nunggu sampe kamu wisuda, tapi lamaran kamu juga musnah seiring dengan gelar sarjana yang kamu peroleh”. “Hehehehehe ... bercanda Ruby, aku sudah mendapatkan gelar S2 ku bulan lalu kok. Nih fotonya” (sambil menunjukkan foto diponselnya). “Ahhhh ... hampir saja copot jantungku. So? Kapan kita akan melaksanakan pernikahan kita?”. “Secepatnya dan dalam waktu dekat ini”. “Terima kasih ya, Gus? Aku sayang dan cinta sama kamu”. I Love You too my princess, Ruby” Kini penantianku telah tiba, kali ini aku tidak menerima undangan, melainkan aku menyebarkan undangan. Di gedung yang megah dan berhiaskan rangkaian bunga yang cantik semakin memperindah papan bertuliskan : “HAPPY WEDDING BAGUS & RUBY” Dari kisah dan pengalaman yang kelam itu aku cukup mendapatkan pelajaran hidup yang berharga untuk masa depanku. Bahwa suatu hubungan yang harmonis adalah hubungan yang berlandaskan pada komunikasi yang baik, kejujuran, kesetiaan, kesabaran dan komitmen yang kuat serta tak lupa pula selalu berprasangka baik pada Tuhan bahwa Tuhan memiliki rencana yang indah yang telah digariskan dalam hidup kita. Sepertinya aku harus menambahkan kosakata dalam kamus hidupku, fase transisi wanita menjadi empat yaitu Fase koleksi, Fase Seleksi , Fase Resepsi dan Fase Berbakti pada suami.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun