Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Sri Patmi: Jerau

18 Oktober 2021   07:34 Diperbarui: 18 Oktober 2021   07:40 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk kesekian kalinya Nana masih menganggap jika ini adalah hari bahagianya. Dimana ia dianggap sebagai ratu paling cantik sejagad. Mengenakan gaun yang sudah dirajut oleh perancang busana yang sangat terkenal di penjuru negeri ini. Ia kembali mengenakan sebelum waktunya tiba. 

Bahkan ia memposting berkali-kali di media sosialnya. Mungkin tak banyak yang dapat ia bagikan selain rasa bahagia. Beragam upacara adat sudah dipersiapkan. Berharap momen sakral pernikahan ini mendapatkan keberkahan, keselamatan dan kebahagiaan selamanya. 

Balutan kain menutupi dadanya, setiap siraman air kembang yang dipetik dari taman menyejukkan hati. Begitu pula dengan Atma, calon pengantin pria. 

Ia turut menjalani momen sakral yang tidak akan pernah terulang didalam hidupnya. Terlihat dari kejauhan orang yang kesana kemari mengikuti kegiatan calon pengantin sembari menenteng kamera DSLR nya. 

Orang tua memasang blaketepe didepan rumah. Berbagai dekorasi dengan riasan bunga hidup menambah momen sakral semakin berwarna dan indah. 

Tulat sudah hari akad, namun perasaan Nana masih saja gelisah. Entah apa yang sedang ia pikirkan, padahal semua persiapan sudah matang. Bisa dianggap 99% sudah berjalan baik, sisanya tinggal persiapan mental. 

Sembari memandangi cahaya rembulan ditengah temaram yang menghangatkan, Nana memperhatikan dirinya didalam cermij. Ia membuka laci di meja rias. 

Nana memperhatikan secarik surat dengan kop surat resmi berlambang burung Garuda. Tangannya semakin gemetar menyaksikan di amplop itu tertulis namanya "KIRANA VIDIRA". 

Gudang memorinya terbuka kembali. Nana masih mengingat ketika lulus SMA, ia mencoba untuk mengikuti seleksi masuk perguruan negeri. Disana, ia bertemu dengan pria peraih nilai tertinggi seleksi beasiswa kala itu. Ia hanya dapat turut bahagia karena Nana gagal untuk masuk di Perguruan Tinggi Negeri. 

Sampai beberapa tahun setelah kegagalannya, Nana tetap berusaha meraih impiannya untuk bisa lolos seleksi perguruan tinggi negeri. Namun, sayangnya ia tidak beruntung seperti calon suaminya. Padahal, calon suaminya sudah meneruskan kuliah hingga ke negeri kincir angin dan kanguru. 

Dengan segudang prestasi yang dimiliki calon suaminya, lantas tak membuatnya besar kepala. Atma terus memberikan semangat untuk terus berjuang meraih apa yang Nana inginkan. 

Sejak dulu, memang Nana bertekad untuk menjadi dosen di UI. Kedua pasangan ini saling mendukung dalam berbagai hal. Hingga pada satu titik nol, Nana merasa sudah menyerah untuk mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri. 

Sudah 9 tahun ia berusaha untuk hal yang mungkin bukan menjadi garis takdirnya. Meski terkadang, secara manusiawi Nana merasa iri dengan keberhasil Atma, ia berbesar hati untuk merelakan impiannya kandas begitu saja. Ia memutuskan untuk fokus mengurus Atma sebagai pendamping hidupnya kelak. Nana memilih untuk menuliskan namanya di Undangan Pernikahan bersama dengan Atma Wijaya. 

"Andai saja, surat ini datang lebih dulu" ujar Nana dalam hati. 

Ketegangan syarafnya telah mereda. Setelah ia tanggalkan egonya kedalam inti bumi. Tangannya yang gemetar, dengan penuh keyakinan membuka lagi surat itu. Surat yang selama 9 tahun ia nantikan. 

Tak pernah disangka jika kehidupan sepelik ini. Ia hanya menatap dengan penuh keyakinan, jika garis takdirnya adalah menjadi madrasah terbaik bagi anak-anaknya kelak. Bara api didalam  dadanya membakar secarik surat dari negara. Ia mengubur hidup-hidup impian yang sejatinya telah redup. 

Tepat H-1, dini hari kian dingin. Nana masih memperhatikan dirinya dengan bara api yang membara menuju Jerau. Dengan gaun putih yang mempesona dan ronce melati, Nana memperhatikan dirinya begitu lekat dan semakin dalam. Ia menyambut bahagia yang berbeda. 

Bahagianya menjadi bagian dari langkah kesuksesan calon suaminya menjadi Guru Besar. Hingga kata "SAH" diucapkan oleh para saksi. Riasan gaun putih menjadi saksi hidupnya kata SAH. 

Menjelang resepsi, gaun putih ditanggalkan berganti Jerau yang memukau. Tangisnya tak terbendung saat memperhatikan Atma berganti Jerau, Nana seakan bercermin pada sosok yang berbeda. Nana adalah Atma, Atma adalah Nana yang terpaut didalam Jerau. 

Salam, 

Sri Patmi 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun