Rasa siapku seperti embun yang harus meninggalkan pagi. Besok aku juga datang lagi. Kenapa harus ditangisi? Aku masih disini, merindukan setiap untaian kalimat itu terucap. Kita itu sama-sama sudah gila, kau mengerti kan maksudku? Kadang sudah mengerti konsekuensi tapi masih bertangan besi. Menantang setiap pertikaian agar jadi bahagia yang terbentang. Dramanya sudah menghadirkan plot twist yang membingungkan. Aktor utamanya banyak, setiap peristiwa seperti episode dalam babak cerita.Â
Jika ingin kau rasakan debarannya, lihat saja pada ronggamu saat ini. Mengerikan tau... seperti mengajarkan seekor burung untuk berenang. Seperti mengajarkan ikan untuk terbang. Meleleh dan mendidih saja sudah. Biarkan itu menjadi uap. Biar kita bisa melihat rumah terbaik kita nanti diawan yang luas. Rasa cemburuku mungkin begitu besar, harus dibuat panas dingin agar menjadi lebih ringan saja dulu. Sudah ringan, akhirnya sekarang terbang. Malahan muncul rindu diantara rembulan malam.Â
Tapi aku tak berani mengungkapkan, hanya mampu mengirimkan untaian doa demi doa yang sampai kepadamu di waktu yang sama. Apapun namanya, singgah atau rumah... kuhargai semuanya menjadi bagian yang tak pernah terlepas. Harus ada yang berlubang agar rongga ini bisa bernapas. Alveolus yang menampungnya akan tenang didalam buih air dan udara dalam lembab
Aku sudah menikmati panas dingin itu jadi beku. Bekunya tidak akan membuat indranya membiru kok. Jangan takut! Kesini deh.. kita nikmati secangkir kopi bersama. Jangan khawatir jika ia akan tumpah. Jika kopi ini tumpah, ada kain untuk membersihkannya. Tapi bagaimana jika rindu ini sudah tumpah? Aku bukan hanya butuh sekedar temu, tapi aku butuh kamu...Â