Tingginya kebutuhan daging sapi yang tidak bisa diimbangi dengan produksi dalam negeri, membuat Kementerian Pertanian (Kementan) berencana mendatangkan 100 ribu ton daging kerbau dari India pada 2019 nanti.
Menurut hitungan Kementan, ada defisit 33% produksi daging sapi bila dibandingkan dengan kebutuhan dalam negeri. Itu sebabnya, Kementan mengajukan impor sapi bakalan, daging sapi beku, dan juga daging kerbau.
Mengacu pada besaran defisit tadi, artinya produksi sapi lokal yang sebanyak 2,3 juta ekor itu baru bisa memenuhi 67% kebutuhan rakyat Indonesia.
Kementan sendiri sudah melancarkan beberapa jurus untuk mendongkrak produksi daging dalam negeri. Mulai dari Upaya Khusus sapi indukan wajib bunting (upsus siwab) dan juga melarang pemotongan sapi betina yang masih produktif.
Akan tetapi, upaya menggenjot produksi daging itu juga hendaknya tidak mengabaikan peternak lokal. Seperti program Kementan tahun 2018 hingga 2019 nanti, yang rencananya akan menyalurkan 6.000 sapi indukan impor jenis brahman cross atau BX ke seluruh Indonesia. Tujuan dari kebijakan penyaluran sapi impor asal Australia itu adalah untuk meningkatkan populasi sapi dalam negeri.
Masalahnya, muncul perbincangan di kalangan peternak di Jawa Tengah, yang kuatir masuknya sapi impor BX itu akan membuat harga sapi lokal anjlok.
Harga timbang hidup sapi BX itu berkisar Rp 34.000/kg. Kalau harga timbang hidup sapi lokal bisa Rp 42.000 hingga 47.000/kg. Sapi BX dijual sekitar Rp 12 juta/ekor. Sementara sapi lokal harganya bisa menyentuh Rp 17 juta/ekor.
Akan tetapi, peternak yang tak setuju keberadaan sapi impor juga tidak berdaya. Mereka tidak bisa berbuat banyak terkait masuknya sapi BX dari Australia itu. Karena pemerintah sendiri sudah membuat regulasi yang membolehkan sapi ini dikembangbiakkan di Indonesia.
Pihak Kementan berhadap, di tahun 2019 nanti, populasi sapi di Indonesia dapat meningkat menjadi 20 juta ekor agar mengurangi ketergantungan impor sapi dan kerbau. Sedangkan saat ini jumlah sapi masih berkisar di angka 19 juta ekor.