Mohon tunggu...
Sri Lestarioak
Sri Lestarioak Mohon Tunggu... Dosen - Berdomisili di Surabaya

Dosen, Penulis, Pencinta Folkmusic, dan percaya perempuan bukan warga kelas dua

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Tidak Selalu Kau Temukan Orang Pintar di Balik Hobi Membaca

19 Agustus 2019   00:52 Diperbarui: 19 Agustus 2019   00:56 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dibalik orang gemar membaca, ada julukan yang melekat padanya sebagai seorang kutu buku. Positifnya, anggapan umum orang-orang, prilaku gemar membaca berbanding lurus dengan kecerdasan. Tapi, tak jarang, mereka yang kutu buku bahkan gemar membaca seringkali diidentikan dengan orang yang kuper atau kurang pergaulan. 

Entah sejak kapan orang-orang dengan karakter gemar membaca apabila dicitrakan dalam film atau karya fiksi lain selalu dilekatkan dengan penampilan rapi dan memakai kacamata. Apa mungkin karena mereka melihat sosok seperti Ki Hadjar Dewantara atau mungkin Mohammad Hatta yang berkacamata, kutu buku, dan berpenampilan rapi sehingga itu mungkin saja menjadi konsensus banyak orang untuk mengidentikan kacamata, kerapian, dan kebiasaan gemar membaca buku. Maka, akhirnya ini seperti 'kesepakatan terselubung' bahwa pintar sama dengan suka baca buku dan memakai kacamata. Karena kesepakatan tak kasat mata ini, kamu yang memiliki kriteria pasangan pintar, syarat pertama adalah memakai 'kacamata'. Seorang Soekarno barangkali tidak akan membuatmu tersipu karena tidak sesuai dengan kriteria yang ada dalam pikiranmu, meski dia sebenarnya juga gemar baca buku, tapi dia tidak berkacamata. 

Lebih jauh lagi, gemar membaca buku tak sekedar menjadi identitas pintar atau tidak. Orang-orang kali ini bahkan dapat meramalkan karakter hanya dilihat dari buku kegemarannya. Tak sulit mencari hubungan antara kepribadian dan buku bacaan kegemaran. Seperti misalnya, orang yang membaca cerita horor berarti memiliki sikap menyukai tantangan dan hal ekstrim serta pemberni. Atau ada orang yang menyukai puisi, berarti dia orang yang romantis. 

Tidak hanya itu, bahkan kali ini ada yang mencobamenilai kegemaran membaca dan harapan atau keinginan. Misalnya, dalam bayanganorang orang yang saya kenal, saya adalah wanita yang kebelet menikah gara-garabelakangan ini bacaan saya adalah tentang pernikahaan dan panduan merawathubungan pernikahan agar terus romantis. Kali lain, ada yang menganggap sayaaneh, tidak berniat menikah, bahkan meremehkan pernikahan karena mereka melihatsaya membicarakan tentang feminisme.

Sebegitu menariknya mengamati kegemaran membacaseseorang hingga membentuk berbagai macam prasangka. Mulai dari gemar membacaidentik dengan pintar, dapat memprediksi sifat orang, hingga meramalkan apakeinginan orang. Seperangkat prasangka itu tidak dapat melewatkan satu hal.Orang melewatkan bahwa ada proses mencerna atau memahami bacaan di dalamnya.Proses inilah kemudian yang membedakan hasil, tidak semua orang yang gemarmembaca berarti orang pintar, apalagi kritis.

Teman saya, setiap kali bertemu denganya, selalu membawa buku kemanapun dia pergi. Dia membaca buku filsafat dari berbagai macam teori filsafat Yunani hingga Islam sudah katam.  Ia memang membaca, tapi mungkin tidak mencerna.Mereka yang tidak mencerna bacaannya seringkali tidak memiliki dampak apapunpada pola pikirnya sendiri apalagi masyarakat luas. Misalnya saja, adaseseorang yang paham akan teori kesetaraan gender tapi dalam pola pikirnyamasih mensubordinasikan perempuan. Dia membaca bahwa perempuan seharusnya tidakdiperlakukan rendah, tapi seringkali dia melecehkan perempuan denganmengomentari tubuh misalnya.

Negarawan IrlandiaEdmund Burke memberikan petuah untuk merefleksikan konten bacaan, jika tidakdemikian maka membaca akan sama halnya seperti menelan bulat-bulat makanantanpa mencernanya. Cara yang paling sederhana pernah dicontohkan oleh Soekarno.Kisahnya, dia selalu memberikan setiap catatan pada bacaannya, menuliskantambahan pendapatnya tentang buku itu, baik kritik maupun hal positif dari saribacaanya. Itulah proses reflektif, sama halnya seperti berdialog dengan sipenulis, dia tak segan memberikan catatan-catatan pada bukunya. Itulah mengapaorang-orang yang membaca buku tidak berarti dia pandai. Dia gagal dalammemahami proses ini. Dia gagal berdialog dengan buku tentang pemikirannyasendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun