Aku mematut didepan cermin, aku pancen ayu. Sengaja kupilih baju kuning gading oleh oleh lik Wanti waktu piknik ke Bandung. Ini baju pethingan karena hanya ku pakai untuk acara yang menurutku istimewa, spesiyal pake telur.Â
Rambut panjangku kusisir rapi ke belakang. "Mau kemana Sar, kok dandan menor gitu?" tanya simbok penuh selidik saat melewati pintu kamarku yang memang sengaja kubiarkan terbuka, sumuk. "Mau nganter temen mbok, katanya mau beli baju buat istrinya, surpres katanya." Aku menjawab sekenanya, takut di marahi simbok.Â
"Lah, karo wong lanang to Sar, jangan main api, kualat." Simbok mulai ceramahnya. "Anak perempuan itu harus bisa menjaga kehormatannya, jangan mudah di bujuk rayu pria, opo meneh dah punya istri, sama siapa kamu mau pergi Sar?" Aku mulai agak gelisah, simbok kalau kasih wejangan bisa tahan jam-jaman. "Ini rame rame kok mbok, nggak cuma berdua."
Dan akhirnya aku bisa menginjakkan kaki di mol yang paling gede sak jawa itu. Semua tampak mewah, toko toko berjajar, gadis gadis abege seumurku banyak yang mondar mandir di situ, tentu saja dengan baju baju yang bagus bagus.Â
Aku merasa minder, merasa ndeso. Tanpa terasa tanganku mencengkeram lengan kang parman. Peni yang jalan di belakang kami tampak bahagia, seolah membayangkan bakal dapat sogokan lagi dari kang Parman. Kang parman mesam mesem menuntunku menaiki tangga jalan. Aku gondhelan kenceng, takut jatuh. Aku malu, aku isin. Tapi aku belum mau pulang. Dan tampak sekali aura kemenangan di wajah kang Parman, juragan wedus di desaku. (bersambung)