Mohon tunggu...
sri nuraini
sri nuraini Mohon Tunggu... Hoteliers - swasta

seorang yang gemar snorkeling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Edukasi Keagamaan Perlu Tahapan Bukan Paksaan

6 Agustus 2022   09:57 Diperbarui: 6 Agustus 2022   10:07 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oknum Guru Paksa Siswa Pakai Jilbab - tempo.co

Penyebaran bibit intoleransi masih terus terjadi. Bahkan di lingkungan belajar mengajar seperti sekolahan. Praktek semacam ini semestinya tidak terjadi. Karena lembaga pendidikan harus bersikap netral, bisa menjadi rumah untuk siapa saja, tidak tidak mempersoalkan latar belakang yang melekat di belakangnya. Itulah kenapa lembaga pendidikan sejatinya seperti Indonesia kecil. Dimana di dalamnya bisa digunakan untuk sekolah orang dari mana saja. Sepanjang niatnya untuk belajar dan tidak merusak, silahkan saja.

Tidak hanya siswanya, tenaga pengajarnya juga harus bisa menerima keberagaman yang ada di dalam sekolah. Karena beragam, artinya yang sekolah, yang mengajar atau yang beraktifitas di lembaga pendidikan tersebut bisa mempunyai agama yang berbeda, suku yang berbeda, budaya yang berbeda, atau perbedaan lainnya. Karena lembaga pendidikan itu harus netral, maka yang diusung adalah konsep Indonesia, bukan konsep Islam, Nasrani, Jawa, Kalimantan atau yang lainnya. Namun sekolah wajib memperkenalkan keberagaman tersebut.

Belakangan, tepatnya pada 29 Juli 2022, seorang anak di Bantul Yogyakarta dipaksa mengenakan jilbab oleh guru BP saat masa pengenalan sekolah (MPS). Beberapa anak yang tidak mengenakan jilbab diinterogasi oleh tiga orang guru BP. Ketika diinterogasi si anak dipaksa dan memunculkan depresi. Padahal, pengenaan jilbab dalam Islam sendiri tidak pernah ada pemaksaan. Sungguh sangat ironis. Praktek pemaksaaan jilbab ini bukan yang pertama kali. Sebelumnya juga pernah terjadi di beberapa kota lainnya.

Seiring merekanya bibit radikalisme, banyak orang yang salah memaknai Islam. Seringkali hanya dilihat dari penampilannya saja. Yang penting berjenggot, celana 'ngatung', berjilbab, bercadar dan sebagainya. Berpakaian semacam itu sebenarnya tidak salah. Namun yang salah adalaha adanya unsur pemaksaan dan tidak pernah dijelaskan latar belakangnya. Ingat, perkembangan Islam di Indonesia atau di Jawa atau di daerah lainnya, menyesuaikan dengan budaya lokal setempat. Jadi tidak perlu dipaksakan secara tampilang seperti yang ada di Timur Tengah.

Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah merupakan ormas Islam tertua di Indonesia, juga punya tradisi berpakaian yang mungkin berbeda. Namun keduanya juga tidak pernah mempersoalkan atau memaksakan dalam hal pengenenaan jilbab. Karena sekali lagi, Islam tidak pernah memaksakan kehendak kepada pemeluknya. Apakah yang bersurban, berpeci, atau berjilbab itu pasti perilakunya baik? Belum tentu. Mari kita lihat para terpidana korupsi. Setelah divonis langsung mendadar berjilbab atau berpeci.

Bukan berarti saya anti jilbab. Sebagai seorang muslim, jilbab bagus dan dianjurkan. Namun tidak boleh dipaksakan. Seolah-olah jilbab merupakan indikasi pasti pilihan nilai. Yang berjilbab itu suci, yang tidak berarti kotor. Hijab seolah-olah menjadi penentu jalan ke surga dan neraka. Ingat, agama memberikan edukasi yang baik dengan cara memperkenalkan setiap perintah dan pelaksanaannya secara bertahap. Mari kita saling menghargai keberagaman ini. Jangan merasa paling benar, jangan menuduh perbedaan sebagai kesalahan, sesat, ataupun kafir.  Tidak selamanya orang salah akan selalu salah. Begitu juga sebaliknya. Semoga bisa jadi bahan renungan bersama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun