Mohon tunggu...
sri nuraini
sri nuraini Mohon Tunggu... Hoteliers - swasta

seorang yang gemar snorkeling

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anak Bagaikan Kertas Polos

24 Juli 2019   15:28 Diperbarui: 24 Juli 2019   15:33 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masih ingatkah kita pada bom Surabaya yang terjadi sekitar setahun lalu ? Selain empat bom yang meledak di Surabaya (tiga gereja dan Mapoltabes Surabaya), ada satu bom yang meledak di rusunawa Wonocolo karena bersifat tak sengaja; yaitu meledak ketika saat dirakit.

Yang menarik adalah kelima bom yang meledak itu semuanya melibatkan anak-anak. Melibatkan di sini dalam konteks dilibatkan oleh orangtua mereka yang merupakan pelaku bom tersebut. Kita melihat anak-anak yang terlibat di bom Wonocolo yang membunuh Anton Ferdiantono, Puspitasari dan ada satu anak yang tewas bersama ibunya, tapi ada tiga anak lain selamat dari ledakan bom itu.

Anak yang selamat itu adalah AR berusia 15 tahun, FP berusia 11 tahun dan GHA yang waktu itu masih berusia 10 tahun. AR yang sering hidup bersama neneknya dan bersekolah di sekolah regular yang berbeda dengan paham orangtuanya yang radikal. Tetapi FP dan GHA ditengarai tidak sekolah regular tapi hanya dengan homescholling dimana pengajaran dilakukan di rumah tetapi dengan mentor sang orangtua sendiri.

Ternyata yang diajarkan oleh Anton dan Istrinya adalah ajaran-ajaran yang kental sekali dengan rasisme dan radikalisme. Nyaris setiap malam dua anak tersebut melihat kekerasan yang diputar dari handphone sang ayah. Mereka juga dilarang menari dan menyanyi karena dipandang itu sebagai sesuatu yang haram. Begitu juga dengan Pancasila dan lagu kebangsaan, mereka tak mengenalnya.

Sehingga ketika bom meledak dan menewaskan dua orangtuanya dan kakak sulungnya, mereka shock karena tidak saja mereka tak punya tempat bersandar tetapi apa yang mereka terima kemudian berbeda dengan yang diajarkan oleh orangtuanya.

Setelah Anton dan istrinya tewas, tiga anaknya dibawa ke Jakarta untuk ditempatkan ke penampungan Dinas Sosial sambil mendapat kehidupan dan pengawasan yang memadai bagi para korban radikalisme. 

Wisma Cipayung itu lalu mengajarkan hal-hal yang sewajarnya pada tiga anak Anton tersebut. AR menerima, tetapi dua adiknya yaitu FP dan GHA butuh waktu yang agak panjang untuk menerima hal-hal diluar hal yang berbau radikal.

Kesenian misalnya. Hal yang dulu dilarang oleh orngtuanya, kini diperkenalkan kepada mereka. Mereka juga dikenalkan dengan sekolah regular yang awalnya asing. Berseragam merah putih dan mengikuti pelajaran. Awalnya memang sulit mereka terima tetapi lama-kelamaan mereka bisa menerimanya. Selama beberapa lama di sana mereka seperti anak-anak lainnya.

Dari gambaran ini kita mendapat point bahwa anak-anak itu seperti secarik kertas polos yang bisa ditulisi dengan apa saja. Bisa dengan hal-hal radikal, bisa dengan kelembutan, tergantung yang menggambar mula-mula. Karena itu sang juru gambar seharusnya bijaksana untuk menuliskan sesuatu di kertas polos tadi. Sang juru gambar itu umumnya adalah keluarga dan kaum pendidik sekelilingnya.

Kita juga harus ingat bahwa sang anak punya hak untuk mendapatkan yang terbaik untuk dirinya dari sekelilingnya dan bukan sesuatu yang buruk dan berpengaruh negative bagi mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun