Mohon tunggu...
sri nuraini
sri nuraini Mohon Tunggu... Hoteliers - swasta

seorang yang gemar snorkeling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Demi Indonesia, Cerdaslah dalam Berjihad

8 Oktober 2017   12:32 Diperbarui: 8 Oktober 2017   12:35 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersatu Dalam Damai - http://www.lampost.co

Ketika penjajah ingin menduduki Surabaya, semua orang bersatu membantu tentara untuk mempertahankan Surabaya. Dan yang menarik, para santri dan ulama ketika itu, juga aktif melakukan perang melawan penjajah. Bahkan, KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan resolusi jihad kepada para santri, untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Karena Allah SWT menciptakan manusia sebagai manusia yang merdeka, maka tidak boleh siapapun merebut kemerdekaan itu sendiri. Alhasil, para santri yang berada disekitar Jawa Timur, ramai-ramai ke Surabaya. Peristiwa yang dikenal sebagai pertempuran Surabaya itu, kemudian diperingati sebagai hari pahlawan setiap 10 November.

Kini, setelah Indonesia merdeka, ajakan jihad juga kembali muncul. Diantaranya ajakan berjihad ke Syria, hingga ke Marawi untuk bergabung dengan kelompok ISIS. Belakangan, ajakan jihad juga kembali muncul ketika krisis kemanusiaan Rohingya kembali pecah. Posko relawan jihad bermunculan di berbagai daerah. Di dalam negeri, ajakan jihad untuk melawan pihak-pihak yang dianggap bersebarangan juga terus bermunculan. Memerangi polisi, aparat keamanan dan pemerintah dianggap bagian dari jihad. Bahkan menebar teror dengan meledakkan diri, juga dianggap merupakan bagian dari jihad.

Contoh diatas menunjukkan ada perbedaan dalam memaknai jihad. Jika para pendahulu jihad melawan musuh bangsa, kini kelompok radikal justru memaknai jihad memerangi bangsanya sendiri. Pergeseran pemahaman ini tentu saja tidak bisa dibenarkan. Sebagai manusia yang logis dan cerdas, semestinya tidak terpengaruh oleh ajakan jihad yang salah ini. Karena dalam ajaran agama apapun, apalagi ajaran Islam, tidak pernah mengajarkan jihad dengan menghilangkan nyawa. Perang yang terjadi di era Rasulullah SAW, tidak bisa dimaknai secara bulat-bulat dan harus diterapkan di era yang serba modern ini.

Mari kita melakukan jihad sesuai dengan porsinya, dimana setiap orang harus mampu mengendalikan hawa nafsunya. Karena ketika nafsu itu tidak terkendali, outputnya bisa beraneka ragam. Jika diarahkan untuk hal negatif, dampaknya akan memunculkan ketidakadilan, tindak kekerasan, kebencian, bahkan hingga pada tindakan teror. Tidak mungkin negeri seperti Indonesia dijadikan sebagai medan jihad. Karena Indonesia merupakan negara damai, bukan negara konflik. Tidak benar juga, jika konflik sengaja diciptakan di Indonesia, kemudian dijadikan pembenaran untuk melakukan jihad. Karena itulah, jangan terprovokasi sentimen SARA yang muncul di masyarakat. Karena sentimen SARA berpotensi memunculkan konflik, yang bisa didomplengi kelompok radikal dan teroris.

Ali Imron, mantan pelaku peledakan bom Bali mengakui, banyak kelompok radikal dan teroris yang ingin menyulut Ambon dan Poso agar terjadi konflik SARA. Ketika konflik terjadi, kelompok radikal dan teroris berusaha masuk agar dijadikan pembenaran melakukan jihad atau perang. Bahkan ketika menyikapi risis di Rohingya pun, bukan bantuan kemanusiaan yang mereka tawarkan, melainkan justru menebar ajakan jihad untuk berperang. Bagi yang cerdas dan mempunyai keimanan yang kuat, tentu tidak akan terpengaruh ajakan jihad yang salah itu. Namun, bagi yang sudah terpapar radikalisme dan tidak mau berpikir terbuka, tentu mereka akan pakai kaca mata kuda. Keluarga ditinggalkan demi berperang ke jalan yang salah.

Untuk itulah, jangan pernah bosan untuk saling mengingatkan. Jangan pernah bosan pula untuk menebarkan pesan damai. Ingat, propaganda radikalisme dan ajakan jihad yang salah, terus bermunculan di dunia maya. Mari kita beri pemahaman yang benar, agar para generasi muda kita tidak mudah terpengaruh. Karena Indonesia membutuhkan generasi yang cerdas, bukan generasi yang mudah diprovokasi. Indonesia juga butuh generasi yang toleran, bukan generasi yang intoleran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun