Mohon tunggu...
Lardianto Budhi
Lardianto Budhi Mohon Tunggu... Guru - Menulis itu Membahagiakan

Guru yang suka menulis,buat film,dan bermain gamelan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Puisi yang Dibaca Sukmawati dan Nasib "Bebrayan" Sosial Kita

4 April 2018   17:18 Diperbarui: 4 April 2018   21:28 3349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Saya menuliskan opini ini tidak ada tujuan lain selain sebagai semacam sedekah saya kepada Bangsa Indonesia. Tapi kalau kepada Bangsa Indonesia terdengar terlalu muluk-muluk, ya paling tidak untuk masyarakat yang lebih kecil skala ruangnya, misalnya bagi masyarakat kampung saya sendiri. 

Kalaupun sedekah untuk masyarakat kampungku sendiri masih terasa terlalu sok dan gumedhe, ya biarlah urun rembug ini ke berikan untuk diri sendiri dan keluargaku. Masak manusia kelas nyamuk macam saya berlagak sok-sok-an menyedekahi bangsa Indonesia ?

Begini,

Ada seorang yang katanya tokoh Nasional beberapa hari yang lalu dalam suatu kesempatan berkenan membaca satu puisi. Ini sebenarnya sangat menggembikan karena ditengah rimba belantara politik yang lazimnya dipenuhi oleh busa-busa janji yang bergelembung-gelembung melimpah ruah,intrik dan psy war yang kian membonsai gerak akal sehat masyarakat tapi ternyata ada tokoh yang cukup percaya diri untuk membaca puisi. Sentuhan seni yang entah sekecil apapun pasti membuka ruang untuk mengolah aspek estetika manusia.

Hanya masalahnya, ternyata puisi itu justru menimbulkan respon yang memicu polemik dan ketegangan dimasyarakat karena muatan puisi tersebut mengandung sensitivitas pemeluk agama tertentu. 

Tak pelak, masyarakat kembali gaduh tak terkira. Salah satu imbasnya adalah dunia medsos kembali dibanjiri ujaran-ujaran kebencian (hate speech) dan respons dari berbagai elemen masyarakat dari latar belakang beragam yang menurut saya cukup mengkhawatirkan, setidaknya menambah bising telinga ketentraman kita sebagai masyarakat.

Sebagai sebuah karya seni, puisi tidak bisa disalahkan. Karya seni apapun bentuknya pada tataran ideal tidak hanya harus menempatkan diri sebagai hiburan atau sarana pelarian dari kelemahan psikologis tertentu. 

Karya seni yang baik tidak sepantasnya melarikan diri dari realitas masyarakat dan asyik bergumul dengan romantisme atau rumbai-rumbai kesenangan yang sifatnya egoistik. Seniman tidak sepantasnya hanya menjadikan proses berkarya seni sebagai alat untuk onani estetis. Seniman bukan manusia istimewa dalam aksentuasi makna lepas dan bebas dari konvensi nilai moral dan pranata sosial. 

Seniman punya tanggung jawab untuk memikirkan imbas dari karya seninya atau aktifitas keseniannya terhadap keselarasan dan ketentraman hidup masyarakatnya.

Terlebih, sejak memasuki tahun politik ini kita seperti diguyur oleh begitu banyak kabar atau berita mengenai peristiwa-peristiwa yang rasa-rasanya cenderung menyeret kita ke dalam sebuah situasi yang dipenuhi oleh social hatred (kebencian sosial). 

Seniman berada berada pada posisi yang relatif lebih obyektif untuk memandan denyut gejala masyarakat karena asumsinya, senimanlah yang selama ini bekerja untuk menangkap cahaya keindahan dengan cara mengolah realitas untuk ditemukan konektivitasnya dengan kebaikan dan keindahan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun