Mohon tunggu...
Lardianto Budhi
Lardianto Budhi Mohon Tunggu... Guru - Menulis itu Membahagiakan

Guru yang suka menulis,buat film,dan bermain gamelan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajarlah Terus sampai Merasa Bodoh, Sebuah Refleksi terhadap Hari Pendidikan Nasional

2 Mei 2019   21:03 Diperbarui: 2 Mei 2019   21:17 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Barangsiapa ingin memiliki masa depan, ia harus berkaca kepada masa silam. Dengan artikulasi yang berbeda, "tidak mungkin orang melihat masa depan tanpa pengetahuan jauh ke belakang". Melalui ungkapan atau analogi yang agak milsafat, sebagaimana gambaran yang kita peroleh dari seseorang pemanah. Sejauh apa lontaran anak panah ditangannya, akan sangat tergantung dari sekuat dan sejauh apa ia menarik tali busur gendewa. Begitupun pelajaran dari lapangan bola. 

Seorang pemain yang hendak menendang bola, ia butuh mundur beberapa periode jarak tertentu agar dengan begitu ia menemukan sudut pandang yang setepat-tepatnya untuk melihat gawang, selain itu dengan mundur beberapa langkah, si penendang bola bisa menentukan dan meramu ketepatan antara jarak, presisi waktu dan kekuatan sudut gaya potensial ayunan langkah kakinya. 

Itulah dialektika alam semesta, yakni terdapatnya hubungan timbal-balik yang saling mempengaruhi antara satu, dua, tiga atau bahkan berapapun kemungkinan disekitar kita. 

Dunia menggenggam begitu banyak pralambang, analogi, sanepan, dan berbagai macam perumpamaan-perumpaan yang didalamnya tersimpan informasi dan pelajaran berharga yang bisa diambil manusia dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, kita mengenal ilmu sejarah, antropologi, dan arkeologi. 

Dan hari ini, topik pembicaraan yang mayor ditengah-tengah segala perbincangan bertemakan sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan, terutama menyangkut generasi muda adalah mengenai masa depan, hari mendatang, the day after here. Antrean panjang generasi muda digerbang sekolah, barisan anak-anak bangsa dipintu masuk perguruan tinggi adalah salah satu dari sekian banyak ekspresi dari gerak psikososial yang dilahirkan oleh obsesi untuk menapaki masa depan yang terang benderang dan gilang gemilang. 

Pemilu yang diselenggarakan untuk memilih para wakil rakyat, para penyambung dunia hari ini dengan masa depan masyarakat yang gaung dan gemanya menggelegar hingga terkadang hampir memporak-porandakan jahitan baju kebersamaan pun, goal sejatinya adalah kompetisi untuk saling berlomba mempersiapkan generasi menyambut masa depan yang lebih terang. 

Past, Present, dan Future berbeda dengan Yesterday, Now, dan Tommorow, antara keduanya berbeda dalam skala ruang tapi tetap memiliki kesamaan yakni adanya mata rantai yang saling terkait antara masa lalu, kini, dan masa depan.

Belajar pada Masa Silam

Kemudian beberapa hari yang lalu saya berkesempatan mengunjungi Museum Purbakala Sangiran didaerah Kalijambe, Sragen, Jawa Tengah. Cukup ironis juga sebenarnya, karena saya yang tinggal tidak jauh dari tempat yang sangat bersejarah ini, baru bisa mengunjunginya sejak saya mendengarnya jauh-jauh waktu dulu saat masih duduk dibangku SMP. 

Malu rasanya pada diri sendiri karena lebih bangga menceritakan pengalaman berwisata ke Bali, Bandung, Jogjakarta, Madura dan destinasi wisata termasyur lainnya namun belum sekalipun berkunjung ke Sangiran. Agaknya menjadi semacam hal yang lumrah, bahwa museum bukanlah tempat wisata yang nge-trend, setidaknya dilingkungan saya. Berwisata itu ya ke pantai, danau, taman bermain, air terjun, atau pusat kuliner bukan ke museum. 

Wisata itu hiburan, hiburan itu harus menyenangkan, sedangkan di museum kan perlu mikir ? nggak nyambung kan ?. Tapi saya senang sekali akhirnya bisa berkunjung ke Museum Sangiran hari itu. Masuk melewati pintu gerbang museum serasa seperti masuk ke dimensi waktu yang berbeda. Arsitektur gading Mastodon dirancang sedemikian rupa digerbang masuk museum yang kini diakui UNESCO sebagai situs warisan dunia ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun