Mohon tunggu...
Adityo Eka
Adityo Eka Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

simple

Selanjutnya

Tutup

Nature

Dingin yang Suram: Sebuah Mini-Mixtape Untuk Dataran Tinggi Bernama Dieng

17 November 2012   18:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:09 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13531778751200495470

1. WhisperDesire – Di Atas Batas (Antara Pedang dan Cahaya Terang) 2. Ampop – Nature Is Not a Virgin 3. Lazy Room – Kering, Dingin, Berangin Sungguh, baru aku sadari; ternyata, bernyanyi sambil mengulang terus bait demi bait lirik lagu favorit dapat pula menggugah kenang akan petualangan berkesanmu. Meskipun yang diperoleh tidaklah selalu kesan yang baik. Ingatanku masih belum berpaling dari Dieng Culture Festival 3 yang telah digelar beberapa waktu lalu (30 Juni – 1 Juli 2012). Sebuah gelaran dalam gudang ironi, di antara fakta-fakta ‘buruk’ yang sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Alih-alih mendapatkan kenikmatan maksimal ketika berkunjung ke sana, aku malah merasa miris. Ya, semua mengetahui bahwa kondisi lingkungan di dataran tinggi tersebut sudah bisa dikatakan kritis. Sebuah event dalam rangka memelihara warisan budaya harusnya diikuti dengan aksi nyata dalam menjaga lingkungan. Kolaborasi antara panorama alam yang lestari dengan agungnya warisan budaya adalah sesuatu yang sangat indah, menurutku.

Perlahan ‘ku mulai lepas semua keluh kesah… - WhisperDesire

Ritual pencukuran rambut gembel telah berhasil menarik ribuan wisatawan, termasuk aku. Promo besar-besaran dan mahal dari Visit Jateng 2013 tentu saja berbuah manis, jangankan wisatawan lokal, ratusan wisatawan mancanegara pun tampak hadir menikmati festival budaya yang digelar selama dua hari tersebut. Tetapi, dibalik sesuatu yang baik juga terlampir sesuatu lain yang bertolak belakang. 30 Juni 2012, festival dibuka dengan jalan sehat yang oleh panitia diselipkan sebuah tema besar, peduli lingkungan. Kain putih panjang digelar untuk kemudian ditandatangani oleh seluruh peserta yang berpartisipasi, sebagai bentuk sumbang petisi. Benar prediksiku, kekurang-pekaan masyarakat terhadap kelestarian lingkungan memang tidak bisa diperbaiki dengan hanya sekadar petisi. Jalan sehat yang diakhiri dengan minum purwaceng bersama tersebut dikotori dengan sampah berserak di mana-mana. Tidak hanya di seputaran Pendopo Soeharto-Whitlam, tetapi di semua jalur yang sudah dipakai. Ya, lagi-lagi sampah, sebuah permasalahan mendasar yang sangat sulit dicarikan jalan keluar paling efektif, di negara kita. Aku dibuat gregetan oleh fakta itu. Keluh yang sebelumnya hanya membanjiri kepala, lalu lepas begitu saja bahkan sering keluar sebagai umpatan. “Nyampah doang Loe semua!!!” Gelas kertas bekas minum purwaceng aku punguti sebisanya, hanya sebisanya. Kedua tanganku tak mampu membersihkan sampah yang jumlahnya sangat banyak itu, lebih dari hitungan ribu.

Kucoba memejam mata, menahan bara ini. Tak akan ‘ku biarkan, senjata terbuka. Terasa lelah, hilang kenyataan. ‘Kan ‘ku bilang, pada semua… - WhisperDesire

Keluh juga tak bisa berhenti begitu saja, aku berjalan cepat menuju sekretariat festival di sebelah gerbang masuk Kompleks Candi Arjuna (Pandawa?). Kutemui seorang perempuan berkalungkan id panitia, “Mba, harusnya, mic itu dipakai buat mengumumkan ke semua orang yang ada di sini untuk ‘jangan buang sampah sembarangan’!”, kemudian akumelengos pergi. Sebuah festival budaya telah dinodai oleh perilaku tak berbudaya. Atau, jangan-jangan, perilaku buang sampah sembarangan itu bisa dihitung sebagai sesuatu yang berbudaya? Lalu, siapa yang salah?

Room full of liars, economical desires… - Ampop

Bukan hanya sampah, ada fakta lain yang juga membuatku miris. Sebuah media onlinememaparkan, “Kerusakan lingkungan Dieng mulai terjadi sejak tahun 1980-an dan degradasi hutan memicu kerusakan hutan terparah terhitung mulai 1998. Tingkat erosi tinggi, antara lain faktor pertanian tanaman kentang yang semusim, menyebabkan rentannya bahaya tanah longsor dan berkurangnya tingkat kesuburan tanah.”(I) Kentang mengalami booming di Dieng sejak dekade 80-an. Pada masa itu, kentang adalah tanaman primadona, mudah ditanam dan cepat dipanen. Siapa yang tidak tertarik? Warga Dieng yang sebelumnya hanya bertani kobis, kacang, tembakau, dan pitrem (sejenis bunga lili putih); mulai berbondong-bondong menanami kelas umbi-umbian yang memiliki kadar karbohidrat cukup tinggi tersebut, apalagi didukung oleh permintaan pasar yang juga tinggi. Seiring perubahan pola konsumsi masyarakat perkotaan; di mana french friesbaked potatomashed potatoes, dan beberapa olahan lain dari kentang menjadi jenis makanan yang mempengaruhi kelas sosial(II) ~ makan kentang biar gaul, dan semacamnya; membuat pembabatan hutan untuk lahan kentang kemudian marak terjadi di wilayah Dieng, sebagai wilayah produsen kentang yang baru. Puluhan tahun kemudian, terhitung sampai 2005, sudah lebih dari 900 hektare hutan lindung di Wonosobo habis dibabat(III), dan tentu saja terus bertambah hingga sekarang. Malahan, sebuah media juga menyebutkan baru-baru ini, sekitar 7.758 hektare lebih lahan di Dieng sudah menjadi kritis.(IV)

Inilah kita, mengambil semua… - Lazy Room

Tidak heran bila Dieng kemudian sering dilanda bencana. Pembabatan kawasan hutan mengakibatkan tingkat erosi yang tinggi. Akibat lainnya adalah degradasi, yaitu tanah longsor dan banjir lumpur. “Wilayah pegunungan kok bisa banjir.”, nyatanya bisa. Lumpur yang ikut turun bersama air dari lereng bukit kemudian masuk ke telaga, terjadi pengendapan di dasarnya sehingga daya tampung menjadi kecil. Curah hujan yang tinggi tidak bisa ditampung semua, jadilah air meluap.(V) Kemudian, belasan desa di sana dinyatakan rawan longsor, mayoritas adalah desa di wilayah Kejajar.(VI) Sebagai contoh adalah desa Tieng, yang pada penghujung 2011 lalu dilanda bencana tersebut, puluhan rumah rusak berat dengan belasan korban jiwa.(VII) Bencana-bencana itu membuat pemerintah daerah setempat naik bicara, baik Banjarnegara maupun Wonosobo. Lewat pidato-pidatonya, mereka, menyarankan para petani Dieng untuk segera mengganti kentang dengan tanaman lain yang lebih ramah lingkungan. Tetapi, pidato hanya sekadar pidato, ucap hanya sekadar ucap; pada prateknya, pemerintah daerah masih saja menyewakan lahannya kepada penduduk untuk ditanami kentang.(VIII) Mereka yang menyarankan, mereka pula yang melanggar; semua demi motif ekonomi. Lucu. Bagaimana nasib Dieng di masa mendatang? Bisakah kamu prediksi? Baiklah kawan, kita semua sudah tahu jawabannya. Dataran tinggi ini hanya tinggal menunggu waktu, waktu untuk ‘pensiun’; karena nantinya, aku yakin, hanya bukit-bukit cadas saja yang tersisa. Lalu, apakah tulisan ini dibuat untuk melarang kamu yang akan pergi ke Dieng? Tidak, datanglah kamu ke sana, buktikan sendiri. Dan, jangan lupa untuk memutar mixtape yang sudah kubagi, rasakan suramnya. Seiring rangkak mentari dari balik puncak Sikunir, Dieng semakin dekat dengan masa paling gelap. Benda tajam siap memangkas sisa hutan di sana, demi uang baru. Benar-benar di atas batas, antara pedang dan cahaya terang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun