Siapa yang tidak pernah mendengar istilah cryptocurrency? Intervensi Elon Musk dan jatuh bangun pasar kripto menjadi pembicaraan hangat pada tahun 2021. Di Indonesia sendiri, cryptocurrency atau aset kripto belum diakui sebagai alat pembayaran dan lebih sering diperdagangkan sebagai alat investasi. Akan tetapi, sebagai aset yang diperdagangkan, cryptocurrency masih memiliki akuntabilitas yang lemah. Beberapa alasan yang mendukung pernyataan tersebut adalah: terdapat sifat imutabilitas dan kurangnya standar serta aturan. Selain itu, terdapat juga skandal Wirecard, sebuah perusahaan Jerman yang bergerak dalam bidang crypto-debit card yang kehilangan dana sebesar 2 miliar pada laporan keuangannya sehingga menyebabkan dana seluruh pengguna harus dibekukan. Berkaca dari isu tersebut dan isu lainnya, audit cryptocurrency menjadi salah satu usaha yang baik untuk mendukung akuntabilitas aset kripto.Â
Audit cryptocurrency merupakan proses verifikasi atas transaksi aset digital dengan informasi yang terdapat dalam blockchain. Auditor yang ditugaskan harus mengkonfirmasi  saldo neraca dan identitas pihak lain.  Dengan adanya audit cryptocurrency, terdapat empat peran yang penting, yaitu: (1) memberi jaminan tentang stabilitas dan ketahanan kepada para pengguna cryptocurrency.  (2) audit dapat membuktikan interface antara smart contract dan sumber data eksternal yang memicu kejadian bisnis, karena pengguna blockchain dapat menghadapi risiko seperti eror yang tak teridentifikasi atau kerentanan tanpa adanya evaluasi independen. (3) audit dapat memberi bantuan dalam arbitrase bagi perselisihan antara partisipan konsorsium-blockchain. Pengguna blockchain mungkin memerlukan fungsi ini untuk penegakan kontrak. Terakhir, (4) audit berperan sebagai administrator dalam sistem blockchain. Auditor dapat melakukan verifikasi identitas atau melakukan proses pemeriksaan sebelum peserta diberi akses ke dalam sistem blockchain, agar kepercayaan dapat diciptakan di dalam dunia blockchain.Â
Dalam pandangan akuntansi, cryptocurrency diklasifikasikan sebagai bagian dari aset kriptografi dan  dapat dibagi ke dalam 2 sisi, yaitu:Â
Akun persediaan: Ketika aset kripto digunakan sebagai produk yang dijual dalam bisnis, dengan standar IAS 2. Â
Aset tak berwujud: Standar IAS 38 tentang aset tak berwujud dapat diaplikasikan, ketika IAS 2 tidak dapat digunakan dalam klasifikasi aset kripto.Â
Selain peran dan klasifikasi, dalam pelaksanaan audit terdapat juga beberapa tantangan dalam melakukan audit terhadap aset kripto. Auditor harus menyadari beberapa risiko dalam proses audit yang disebabkan oleh sifat anonimitas. Cryptocurrency pada dasarnya tidak menyimpan informasi seperti alamat  IP atau informasi pribadi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pengguna blockchain. Atau bila blockchain dapat menyimpan informasi-informasi ini, masih saja ada beberapa opsi bagi pengguna yang tidak ingin informasi pribadinya ditunjukkan secara eksplisit, seperti menggunakan alamat email yang tidak dipakai, atau menghindari VPN blocks. Beberapa tantangan yang dapat muncul diantaranya adalah:
Existence
Terdapat risiko eksistensi dalam proses verifikasi aset kripto karena tidak ada pihak ketiga. Selain itu, hilangnya private key akan membuat kripto tidak bernilai.ÂRights and Obligations
Tidak terdapat perantara untuk menguji kepemilikan dan kewajiban aset dalam blockchain. Kripto pada umumnya disimpan secara anonim. Oleh karena itu, auditor dapat mengalami kesulitan baik dalam menguji hak kepemilikan legal atas aset maupun melakukan kontrol internal. ÂCompleteness
Secara teori, transaksi yang tidak lengkap tetap dapat muncul dalam blockchain terlepas dari sifat imutabilitasnya. Hal ini dapat membuat auditor mengalami kesulitan dalam melakukan tracking transaksi.