Mohon tunggu...
S K
S K Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu dari dua orang anak yang tinggal di Jepang.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Gado-gado dan Sushi: Filosofi Kain Lap (3)

1 Januari 2012   08:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:29 1123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku menancapkan poster bazar buatan seorang ibu di pohon buah khaki (persimmon fruits) yang ada di pojok perempatan jalan. Tempat yang sangat strategis untuk menarik perhatian orang-orang yang lewat di situ. Beberapa paku payung berwarna warni justru membuat poster lucu itu menjadi semakin menarik. Setelah yakin bahwa paku-paku payung itu cukup kuat untuk menahan poster aku kembali masuk ke dalam rumah.

[caption id="attachment_153174" align="aligncenter" width="259" caption="Pohon khaki (persimmon fruits) yang berbuah di musim gugur"][/caption]

Tidak lama kemudian mertuaku datang dengan tergopoh-gopoh. Wajahnya terlihat tegang. Beliau membawa tali. Dengan sopan ia memohon padaku untuk mengganti paku payung itu dengan tali.

“Kasihan pohon itu, Nak. Kita tidak boleh menyakitinya. Walaupun tidak berkata-kata, ia juga hidup seperti kita.”

Perkataan mertuaku membuatku terkesima. Walaupun pohon tidak berkata-kata, ia hidup seperti kita. 。。。。。。Kenapa aku tidak menyadarinya? Dengan tidak sengaja aku telah menyakitinya. Bukankah aku menggunakan jasanya untuk mencapai tujuanku? Bukankah ia telah memberikan keteduhan, udara, buah dan manfaat-manfaat lainnya? Bukankah aku dan pohon itu sama-sama ciptaan Tuhan yang menumpang hidup di dunia ini? Aku tidak mengindahkannya, hanya karena ia tidak berkata-kata seperti manusia.

“Paku-paku itu akan segera kucabut, Bu,” jawabku dengan cepat. Ibu mertua menunduk sambil mengucapkan terimakasih. Wajahnya terlihat lega.

Aku membuat empat buah lubang di ujung-ujung poster dan memasukkan tali ke dalamnya, lalu mengaitkannya di pohon buah khaki itu. Sambil mencabut paku-paku payung yang kutancapkan aku berbicara padanya di dalam hati. Meminta maaf atas keteledoranku. Di bawah pohon itulah anak-anakku berdiri menunggu teman-temannya berkumpul. Di bawah pohon itulah kami para ibu mengobrol sehabis mengantar atau menjemput anak-anak dari sekolah. Di bawah pohon itulah suamiku berdiri menungguku pulang sewaktu aku pergi berbelanja sendirian dan lupa waktu. Pohon itu menjadi saksi biksu dari perjalanan hidup keluargaku. Aku berjanji untuk lebih memperhatikannya, sahabat setia yang selalu berdiri di situ dalam keheningan.

1325415179550379765
1325415179550379765

Dengan disebarkannya poster-poster di beberapa tempat strategis, tamu-tamu yang datang di bazar cukup banyak. Sebelum bazar dibuka ibu-ibu TK mendapat kesempatan pertama untuk memilih satu barang yang paling diinginkannya. Setiap ibu mendapat satu lembar kupon sebagai tanda bahwa barang tersebut sudah terjual.

Dengan satu kupon di tangan aku berkeliling melihat barang-barang yang ditawarkan oleh stand-stand yang lain. Begitu banyak barang-barang yang cantik dan bermanfaat, mulai dari segala atribut yang digunakan oleh anak-anak di TK sampai buatan-buatan tangan yang lain seperti tas anyaman dan tas untuk berbelanja (ecobag). Belum lagi kue-kue kering.

Barang-barang bekas juga tidak kalah menarik. Baju bekas untuk anak-anak yang masih bagus dijual dengan harga yang sangat murah. Buku-buku dan mainan anak berjejer rapi menggelitik hati setiap orang yang melihatnya. Permen yang dijual eceran (10 buah) dan dibungkus unik berbentuk kalung dengan gaya tradisional Jepang digantungkan di rak-rak. Kabarnya permen-permen ini akan cepat terjual habis karena para ibu ingin mengenalkan tradisi pengemasan tradisional ini kepada anak-anaknya, sama seperti ketika mereka kecil dulu.

[caption id="attachment_153154" align="aligncenter" width="350" caption="Contoh perlengkapan makan siang di sekolah."]

1325414096118145449
1325414096118145449
[/caption]

Sebenarnya aku sudah menemukan barang favorit yang sangat kuinginkan. Barang itu adalah satu set piring kecil untuk kue. Piring itu dikelilingi dengan renda di bagian pinggir tetapi terbuat dari porselin, bukan dari kertas. Cantik sekali. Belum pernah kulihat sebelumnya. Apalagi semua barang-barang di bazar dijual dengan harga lebih murah daripada di toko. Piring-piring itu terasa memanggilku.

Tetapi di lain pihak aku ingin mempertahankan kain-kain lap buatanku. Kain-kain lap itu dijual dengan harga 35 yen (sekitar tiga ribu lima ratus rupiah) per helai. Sedangkan di toko, kain lap biasa dijual dengan harga 50-100 yen (sekitar lima ribu sampai sepuluh ribu) per helai. Walaupun murah, kain-kain lap itu menyimpan kenangan tersendiri bagiku. Aku ingin memilikinya.

Dalam kebimbangan temanku yang tomboy dan suka merokok menyapaku. “Ibu sudah memilih barang yang diinginkan?” Aku menggeleng, tak bisa memutuskan. Aku hanya memandang satu helai kupon di tanganku. “Aku akan menggunakan kupon ini untuk membeli kain-kain lap buatanku sendiri.” Temanku tersenyum dan menepuk punggungku. “Ibu bisa membuat kain-kain lap yang lain. Gunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Pilihlah barang yang paling ibu suka, harganya jauh lebih murah lo,” katanya lagi. Aku menyadari kebenaran perkataannya. Tetapi sudut melankolis di hatiku lebih menguasai pikiranku. “Kain-kain lap itu adalah kain lapku yang pertama,” jawabku masih bimbang.

“Apa ibu akan menggunakannya?” tanya temanku lagi. Aku menggeleng. Aku akan menyimpannya. “Kerja keras ibu akan berakhir di lemari dapur. Tetapi kain lap itu akan dapat menjalankan fungsinya jika dipakai oleh orang lain. Kerja keras ibu tidak akan tersia-sia. Ayolah, relakanlah. Kain lap itu akan bahagia,” tambahnya lagi sambil menahan tawanya. Pintar sekali ibu yang satu ini. Selain perokok dan peminum kopi berat ia tahu cara mengambil hatiku. “Kasihan kalau si kain lap meringkuk di dalam lemari,” katanya sambil menekuk ke dua tangannya seperti orang kedinginan. Kata-katanya membuatku tersenyum.

Kemudian ia menarik tanganku. “Yang mana barang yang ibu suka. Tunjukkan padaku.” Pelan-pelan kutunjuk satu set piring kue yang berjumlah 5 buah itu. Piring-piring itu adalah sumbangan dari salah satu ibu di kelompok kami. Diam-diam aku jatuh cinta pada piring-piring itu sejak seminggu yang lalu sewaktu kami berkumpul di pertemuan ke dua. Temanku yang perokok itu menepuk punggungku. “Bagaimana?” tanyanya. Ia mengambil salah satu piring, memutarnya, mendekatinya ke wajahku dan menjauhinya lagi. Ah, dari sudut mana pun, piring-piring itu memang cantik! Belum lagi teriakan mereka padaku, “Bawalah kami pulang ke rumahmu!” Duh, apa boleh buat! Kuletakkan kupon jatahku di bawah kotak piring-piring itu sebagai tanda bahwa piring-piring itu sudah laku. Pembayaran akan dilakukan pada akhir bazar.

13255017562019616
13255017562019616

Ketika jam menunjukkan pukul 10 pagi, bazar dibuka untuk umum. Kami sibuk melayani tamu-tamu yang datang. Ibu yang mempunyai bayi atau anak yang belum masuk TK melayani tamu sambil menggendong anak-anaknya di punggung. Kami bergiliran menjaga stand. Empat orang diharuskan tinggal di stand, yang lainnya bisa pergi mengunjungi stand-stand yang lain. Kesempatan ini diutamakan kepada ibu yang anak-anaknya masih kecil. Mereka mengunjungi stand lain sambil membawa anaknya berjalan agar tidak menjadi rewel. Ibu-ibu itu kembali ke stand dengan membawa informasi terkini, baik itu informasi harga, jenis barang yang cepat laris maupun cara mendisplay barang agar lebih menarik untuk dilihat.

[caption id="attachment_153128" align="aligncenter" width="240" caption="Contoh baju bermain (asobigi)"]

13254050511988588456
13254050511988588456
[/caption]

Tidak berapa lama, kain-kain lap buatanku dibeli orang! Ketika aku menyerahkannya kepada si pembeli perasaanku bercampur aduk. Sambil mengambil kain lap yang sulit kulepaskan si pembeli berkata,”Saya akan menggunakannya dengan baik. Terimakasih ya.” Aku hanya bisa membalas ucapannya dengan menunduk dan berterimakasih juga. Sembari menatap punggung si pembeli perasaan melankolisku berganti menjadi perasaan haru. Aku merasa berguna karena telah membuat kain lap. Aku akan membuat kain-kain lap yang lain.

Bazar berakhir dengan sukses. Jumlah uang yang terkumpul lumayan banyak, cukup untuk membiayai sebuah kegiatan ekstra, membeli buk-buku untuk perpustakaan dan membeli bumbu dapur. Lima belas menit sebelum bazar berakhir kami serentak mengadakan sale. Semua barang diusahakan laku terjual. Kami tidak ingin membawa barang-barang itu kembali ke rumah.

Pada saat itulah kami membeli barang-barang yang kami butuhkan atau kami sukai. Pada saat itu juga pembayaran atas barang yang ditempel dengan kupon dilaksanakan. Ketika aku membayar piring-piring porselen berenda idamanku, si pemilik memintaku untuk membayar setengah dari harga yang sudah ditetapkan. Ini memang kebiasaan para ibu. Kami menyumbang untuk sekolah dan saling membahagiakan satu sama lainnya.

Pada jam 11 lewat 30 siang, bazar resmi ditutup. Stand dibereskan, sampah dibuang dan barang-barang yang belum terjual dikumpulkan untuk dijual kembali di bazar tahun yang akan datang. Barang-barang itu hanya tersisa 10% saja.

****

Dua tahun kemudian.

Berawal dari kain lap, aku berhasil menaklukkan diriku sendiri. Aku yang semula membenci kegiatan menjahit berhasil membuat sebuah tas tangan untuk dipakai oleh puteriku. Aku juga membuat tas sepatu, baju bermain dan perlengkapan makan siang dari sisa-sisa bahan yang ada. Pada hari pertamanya di TK puteriku melenggang dengan ceria. Ia menenteng tas buatan ibunya dengan bangga, memakai baju bermain dengan rasa percaya diri dan membuka bekal makan siangnya dengan penuh semangat.

Ada rasa haru, senang dan lega dalam batinku. Aku merasa telah berbuat sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan oleh seorang ibu. Aku masih ingat ketika ibuku menjahit baju Lebaranku. Aku berlari, meloncat dan menari sambil menunggu baju yang dibuatnya dengan tidak sabar.  “Ma, sudah selesai? Bisa dicoba?” Itulah pertanyaan yang tak henti-hentinya kukatakan. Ibuku terlihat begitu cantik dan baik hati karena ia melakukan semua itu untukku. Perasaan bangga dan cinta yang tak dapat kugambarkan dengan kata-kata.

Dengan kemajuan jaman, aku menjadi manusia yang berbeda arah. Aku tumbuh menjadi manusia yang sibuk mengejar cita-cita yang tinggi. Rasanya tak mungkin menjahit sendiri keperluan sekolah anak-anakku. Tetapi, Tuhan memberikan kesempatan padaku, untuk menjadi ibu seperti ibuku dulu. Ia memberikan lingkungan yang memungkinkan semua itu. Walaupun hasil jahitanku tidak sebaik ibuku, tetapi impianku untuk memberikan “rasa” yang diberikan ibuku dulu bisa kuteruskan pada anak-anakku.

[caption id="attachment_153126" align="aligncenter" width="372" caption="Tas tangan (tesage) untuk puteriku"]

1325403234362528151
1325403234362528151
[/caption]

“Ma, aku bisa menjahit untuk putera-puteriku.”

Selamat Tahun Baru 2012!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun