Hal-hal yang bakal menjurus pada pertanyaan :
- Kenapa lama tidak sekolah?
- Kenapa tidak ke masjid?
- Kenapa tidak boleh ikut ke pasar?
- Kenapa tidak main dengan teman?
Untungnya sama sekali tidak kujumpai. Mungkin cukup melihat yang ada di sekitarnya, membuat anak kecil ini kebetulan paham.
Deru kendaraan yang memasuki pemakaman umum di dekat rumah sedari pukul 08.00, tradisi ziarah kubur tetap dilakukan. Sedari pagi silih berganti hingga menjelang zhuhur kendaraan seliweran untuk ziarah.Â
Dibarengi suara takbiran lebih panjang, lebih banyak bergema dari semua penjuru pengeras suara. Baik dari masjid, balai desa, rumah penduduk, islamic center dan entah dari mana lagi.
Tik.. air mata suka cita, sedih, bahagia, rasanya bercampur merata. Apalagi dengan pertanyaan ibu ku yang menagih janji.
"Bagaimana rencana mu...."
Tidak sanggup melanjutkan kalimatnya, aku sudah bahagia. Restu ibu lebih dari segala doa untuk keberhasilan anaknya, cucunya.
Lebih istimewa lebaran kali ini, aroma masakan di rumah adalah hasil karya seisi rumah. Semua-semua dikerjakan sendiri. Kebun digarap sendiri.
Kali ini, aku bisa menjadi manusia yang memaklumi Mang Ujang di detik-detik terakhir Ramadhan, kala itu untuk pertama kali ke rumah lelaki tua itu. Degup jantung dan kkemirisan melihat lelaki tua itu berdaya  di usia  tua, menghidupi diri sendiri. Mang Ujang kuijinkan menggarap kebun di samping rumah, untuk konsumsi dirinya. Selain itu Mang Ujang menggumpal kan barang bekas dijual ke pengepul.Â
Melihat gerobak tua, bukit yang menanjak, apalagi ia puasa, bisa dibayangkan tetes keringat, dan aku yang tak kuasa menangis mengintipnya. Derit-derit perih di hati, cuma doa yang kubuat, semoga Mang Ujang kuat dan sehat selalu, semoga ada orang yang menolongnya karena aku pun tak berdaya.