Mohon tunggu...
Soufie Retorika
Soufie Retorika Mohon Tunggu... Penulis - Penyuka seni, budaya Lahat

Ibu rumah tangga, yang roastery coffee dan suka menulis feature, juga jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Ramadan di Desa Kami

27 April 2020   23:53 Diperbarui: 28 April 2020   00:15 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. pribadi tempat wudhu dan cuci tangan di rumah

Airmata yang bergulir sering tak sengaja menetes dari ujung pelupuk mata yang mulai menua. Ramadhan 1441 Hijriah dan 2020 Masehi. Jangan berhenti bersyukur dan bersabar, itu yang kukatakan pada anak-anakku yang saat ini ketiganya bersamaku. Jangan lelah bersabar, namun selalu lah berusaha disertai doa. Beribadah tidak sekedar beribadah, tapi memohon kekuatan pada Sang Pencipta, memanfaatkan kualitas Ramadhan agar diberikan kelapangan hati, bisa melalui semua halangan itu harapan Ramadhan keluarga kami saat ini.
Pada 27 April 2020 ini adalah hari ke-4 Ramadhan, pada masa pandemi Covid 19 yang masuk di dua bulan. Suasana haru biru di kampung kami ah, lebih tepat dusun kami, terlihat jelas perbedaan yang menjulang tinggi dibandingkan Ramadhan tahun kemarin. Biasanya ibu-ibu ramai dan riuh di Ramadhan pertama dimulai. Persiapan di masjid-masjid tahun lalu, dari kebersihannya, renovasi dan berbagai pengumuman sukacita Ramadhan. Menyenangkan pemandangan riuhnya percakapan ibu-ibu di pasar, bicara tentang sahur, berbuka, teraweh hingga menunggu sanak saudara yang akan datang dari luar kota saat lebaran Idul Fitri.
Kubayangkan tradisi pantauan yang jelas sementara dihentikan. Pantauan adalah tradisi mengunjungi tetangga satu persatu di mulai dari yang terdekat masjid atau dekat lokasi lapangan sholat Ied. Biasanya pengelompokan Pantauan pagi dimulai bapak-bapak, agak siang ibu-ibu dan sore hingga malam biasanya dilakukan para muda-mudi. Hari kedua lebaran barulah ke kerabat yang jauh rumahnya kami pantauan.
Dahulu seminggu sebelum masuk Ramadhan tradisi ziarah dan maaf-maafan keluarga dan kerabat. Fase awal Ramadhan kini masyarakat Lahat sudah saling berjumpa dengan sanak kerabat diganti dengan sowan via gawai. Di Desa kami tradisi ziarah masih dilakukan, namun tidak ramai. Terlihat hanya tiga hingga lima orang keluarga, dimulai sepekan sebelum Ramadhan. Saya bisa melihat jelas wajah sendu mereka yang ziarah dan membersihkan makam sebab tak jauh dari tempat kami tinggal, dan saudara-saudara jauh tidak pulang. Peringatan keras untuk tidak pulang kampung terlihat di gerbang masuk desa kami. Setiap pendatang segera didatangi oleh aparat desa, sudah jadi kesepakatan kami.
Tahun ini nafas yang terlihat senyap di keramaian pasar tradisional dan Kalangan (pasar mingguan desa). Ada tiga  pasar tradisional yang ada sepi pengunjung, daya beli masyarakat menurun. Produk pertanian dan perkebunan banyak yang anjlok. Hasil ternak pun ikutan terjun bebas. Akhirnya mereka berlomba menjual kebutuhan pokok selain di pasar, juga via online. Penjual langsung mengantar ke konsumen barang kebutuhan yang dibeli. Hal ini juga membuat mereka bekerja sama dengan jasa pengantaran atau tukang ojek. Beberapa pasar kalangan desa atau kecamatan juga ditiadakan, tujuannya jelas menggurangi pandemi. Beberapa kalangan tetap dibuka, dijaga aparat desa, kecamatan, kepolisian hingga TNI. Ada beberapa kesepakatan jika kalangan tetap di buka dengan batas waktu, pembeli yang bergulir atau tidak banyak kelompok.
Tapi menurut seorang temanku, saat pandemi ini tak melulu imbas negatif, ada pengaruh positif juga saat Ramadhan kini. Kita jadi lebih banyak beribadah bersama keluarga, dan saling menguatkan. Ibu rumahan seperti saya jadi full time mother. Kebetulan anak-anak sedari kecil memang lebih banyak mengajar sendiri. Dengan disambil bekerja dan mengerjakan pekerjaan rumah.
Biasanya pagi rumah sudah sepi saat anak sekolah. Kini belajar di rumah aplikasi harus lebih berwarna. Di awal mengumpulkan tugas-tugas, menghafal Alquran tetap dilakukan anak, dan di samping beribadah selama Ramadhan.
Kegiatan tambahan mereka jelas tak jauh dari rumah dan pekarangan. Setelah sekian lama melihat ibunya mengolah tanah bersama anak lelaki terkecil di rumah ini. Akhirnya kakak-kakaknya yang perempuan dua orang ini mulai ikutan blusukan di kebun sebelah rumah. Di mulai bertanya-tanya bibit yang ditanam ibunya, hingga ikut menyiangi rumput. Anak-anak sedari kecil memang kurang melihat televisi.
Gawai pun baru tiga tahun belakangan ini mereka punya, saat ini dua anak perempuan saya duduk di bangku Madrasah Aliyah dan si bungsu di sekolah dasar. Nilai positif pandemi ini, mungkin saya bisa lebih banyak waktu mengajar pelajaran sekolah yang sudah lumayan lama ditinggalkan.
Hidup kembali ke alam, membuat kami hanya membeli kebutuhan seadanya, meninggalkan rumah seperlunya saja. Sisa waktu bisa mengerjakan pekerjaan di rumah, beribadah di rumah, mengambil kebutuhan harian dari pekarangan.
Masalah ekonomi yang hinggap saat pandemi, apalagi saat Ramadhan, sudah tentu dirasakan belahan dunia di mana saja. Mengubah perilaku dari setiap hari keluar rumah, jadi seminggu sekali. Paling cepat 3 hari sekali saya keluar rumah. Sementara anak-anak betul-betul harus di rumah atau di kebun. Untuk mengisi kebosanan biasanya anak-anak joging di jalan setapak di kebun yang panjangnya sekitar 50 meter. Sekedar main sepeda, atau petak umpet, berkemah di kebun adalah variasi kegiatan yang mereka lakukan.
Memenuhi kebutuhan sahur dan berbuka seadanya dari kebun menjadi lebih maksimal. Udara segar, air pedesaan yang mengalir, jadi bertambah ucapan syukur pada Allah. Tarawih atau sholat wajib yang biasa dilakukan anak di masjid, saat ini terhenti diganti di rumah saja. Memberikan pengertian pada anak selain mereka membaca surat edaran pemerintah jadi ajang tambahan untuk saya.
Ada hal menarik saat anak lelaki bungsu ini bertanya tentang rumah-rumah tetangga yang saat ini menyediakan tempat mencuci tangan dan kaki.
"Ibu, kok rumah wong itu cak rumah kito galo, ado tempat cuci dan sabun."
Ia maksudkan bermunculan tempat cuci kaki dan tangan yang disediakan pula sabun cair atau sabun batangan untuk mencuci tangan. Sementara ia melihat di rumah kami tempat cuci tangan dan kaki itu sudah lama ada di samping rumah. Sebetulnya itu kebiasaan turun temurun. Di rumah orang tua ada keran dan sabun di samping rumah untuk mencuci kaki, tangan dan berwudhu. Pun di rumah eyang putri ada gentong dan kendi air.
Wajarlah jika kebiasaan itu menurun pada kami anak dan cucu. Berapa banyak kita membasuh tangan dan kaki, sudah pasti sebelum sholat wajib, dari bepergian dan belum lagi saat lainnya. Tugas anak lelaki kecil ini mengisi air sumur di wadah tersebut setiap hari. Sebab ia yang paling banyak menggunakan air usai bermain tanah.
Dahulu, anak-anak sering protes dengan kata-kata saya sebagai ibu yang terlalu menjaga kebersihan mereka. Teriakan khas ibu-ibu usai anaknya pulang dan berucap salam.
"Nak, jangan lupo cuci kaki dan tangan sebelum masuk rumah. Sandal, sepatu ditaruh yang rapi."
Namun sekarang, anak-anak hanya tersenyum saja. Perkataan ibu benar, bahwa menjaga kebersihan itu penting, perlu dan pencegahan dini bukan hanya sebagian dari iman.
Suasana khas yang membuat tersenyum simpul adalah berkunjung dengan teman, ibu, dan saudara lewat video call dari gawai yang ada. Mengingatkan waktu sahur juga dengan video call. Penggunaan gawai jadi lebih berdaya positif saat ini bagi kami sekeluarga. 

Semoga Ramadhan kita lalui dengan meraih keberkahan bersama dan pandemi Covid 19 segera berlalu.

dok KOMPAL
dok KOMPAL
Salam Kompal !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun