Mohon tunggu...
Soufie Retorika
Soufie Retorika Mohon Tunggu... Penulis - Penyuka seni, budaya Lahat

Ibu rumah tangga, yang roastery coffee dan suka menulis feature, juga jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Belajar Menyelamatkan Bumi Saat Covid-19

22 April 2020   23:18 Diperbarui: 22 April 2020   23:20 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akuu menyebutnya hutan kecil kami. Sejak 2007 lahan ini sudah kami beli. Membeli view indah menghadap matahari pagi dengan  pemandangan Bukit Serelo, atau tanah yang murah di pinggiran kota kecil kami. Sebagian menyebutnya rumah di atas bukit. Luasnya kala itu 1.400 meter persegi lebih, menciut untuk jalan setapak warga ke kebun, diambil tetangga yang mengaku-aku, yah sudahlah. Toh kita mati juga cuma butuh sepetak kecil mengubur kita. Begitu kukatakan. Lebih kurang kini tinggal 1.000 meter persegi dan ada pondok rumah kecil berukuran 6 X 7 meter persegi tempat berteduh anak-anakku. Cukuplah bagi kami rumah sederhana ini. 

Sejak dini aku sudah memisahkan sampah organik dan anorganik, sehingga saat tukang penggumpul barang bekas, bisa mereka ambil. Tapi jarang pula tukang barang bekas lewat, sehingga teronggok rapi di sudut rumah begitu saja.

Sesekali kubuat tungku memasak kayu pabila aku kangen suasana berkemah atau bermain dengan bocah lelaki kecil ini.

Sebelum wabah Covid 19 (C-19) merajalela, sebetulnya kami sudah lebih sering di rumah. Sayangnya pemanfaatan lahan tidak bisa maksimal. Tetangga yang menumpang bercocok tanam, rupanya kurang wawasan bercocok tanam. Benih tanaman yang kuberikan, tak ada yang beres ditanami, sekalipun itu tanaman singkong. Pohon-pohon besar yang kutanami juga tumbang ditangannya. 

Hal itu yang membuatku tersenyum saja aku tak sanggup mengatakannya. Untungnya saat ini untuk mengusir kebosanan, aku kembali lagi memegang cangkul dan peralatan berkebun yang ternyata juga banyak yang hilang, karena tidak dikembalikan.

Hampir dua bulan menata ulang, menyelamatkan pohon-pohon besar, aku sangat menyukai pagi hari yang kunikmati, bersama kicau burung, suara serangga hutan, aneka kupu-kupu yang saat ini antara 5-10 jenis yang kulihat. Tupai dan kera hitam berekor panjang sering mengejutkanku.

Dahulu sepuluh tahun lalu masih kulihat Kukang, babi hutan, biawak dan beberapa ular. Jika ditanyakan, kengerian berjumpa hewan liar, kujawab tidak. Karena kesukaanku bermain di alam bebas.

Diam di rumah saja, bekerja di rumah saja, belajar di rumah saja membuat kami semua menggarapnya. Paling tidak amunisi bibit-bibit ini sudah menjadi modal kami. 

Harapan dan doa kecil kami, bertumbuh subur dan bisa menolong tetangga yang saat ini membutuhkan uluran tangan. Mensuplai kebutuhan kecil kami, sudah cukup rasanya.

Skill of life bagi anak kami yang saat ini bersekolah di rumah saja akan menjadi banyak manfaat, tidak hanya mengusir kebosanan.

Sampah organik sudah lumayan menjadi humus bagi sebagian tanah kami yang tandus. Jika tetangga kami ada yang tertimpa longsor, untungnya kami punya pohon besar penahannya. Batuan alam cuma kami susun biasa menambah penguat beberapa sisi rumah. 

Kontur tanah yang tidak rata, dan tebing curam membuat kami harus membuat tangga-tangga tanah memudahkan menanjak dan menurun.

Penerapan penyiraman manual juga berusaha diatasi dengan menyediakan botol bekas air mineral di beberapa sisi.

Benih kopi robusta baru seminggu ditanami--dokpri
Benih kopi robusta baru seminggu ditanami--dokpri

Udara segar, gemuruh angin bertiup jadi warna indah. Mungkin kalian tidak menikmati embun pagi yang jatuh menetesi dedaunan yang nyaring bunyinya di pagi hari. Itulah pemandangan indah kami nikmati. Tidak ada rasa bosan, jika capung-capung indah aneka warna hinggap membantu penyerbukan.

Belum kuceritakan, sisi pohon Pule (Pulai) atau nama ilmiahnya Alstonia scholaris yang tumbuh besar lebih dari 30 sentimeter diameternya, ada dua batang. Pohon pule kecil banyak bertumbuh di sekitar nya. Suasana teduh saat siang, hampir sebulan ini satu sisinya turun hujan rintik-rintik yang tak putus dari pagi hingga sore. Kami tahu karena biasanya siang hari nyaman berada di bawahnya nan teduh. Musim hujan biasanya ditandai instrumen suara katak di sana sini.

Syahdu terdengar bersahutan dengan serangga hutan, cericit burung dan kami duduk menikmati seduhan kopi dan potongan ubi rebus dari kebun.

Bahagia itu sederhana, dengan memelihara alam seperti kami.

Salam Kompal...

dok.KOMPAL
dok.KOMPAL
Selamat Hari Bumi...

Selamat menyambut Ramadhan....

Sisakan bumi yang indah untuk anak kita kelak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun