Mohon tunggu...
Harry Puguh
Harry Puguh Mohon Tunggu... Administrasi - Sustainability Profesional

Saya bekerja di lembaga swadaya masyarakat selama lebih dari 20 tahun dan sekarang bekerja dibidang sustainability

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengaku Miskin tetapi Merokok

11 Juli 2019   14:09 Diperbarui: 11 Juli 2019   14:34 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah makan siang, saya membaca berita tentang sentilan Menteri Kesehatan terkait dengan banyaknya orang Indonesia yang lebih mementingkan membeli rokok daripada membayar iuran BPJS, "Sanggup beli rokok, tapi iuran BPJS nunggak".

Saya tertegun sejenak membaca berita ini, dan ingatan saya kembali ke jauh belasan tahun lalu ketika masih bekerja dan berkolaborasi dengan masyarakat, begitu beraneka ragam kondisi dan lokasi, dari ujung timur sampai ujung barat Indonesia.

Di satu sisi saya berbangga hati dengan beraneka ragam budaya dan alamnya, sungguh kita harus bersyukur karena Indonesia seakan sorga, dan itu nyata. Tetapi dibalik semua itu, ada sesuatu yang saya temui dan saya melihat ada belenggu yang mengikat sebagian besar masyarakat kita.

Hampir disemua tempat, saya dapati sebagian besar dari kita adalah perokok, dan hampir sebagian besar dari mereka ketika ditanya, kenapa kondisi perekonomian mereka kurang sejahtera, kurang tingkat pendidikan dan kurang kualitas kesehatan, selalu hampir sama jawabannya, "karena kami miskin"

Jawaban itu selalu membuat saya berpikir ulang dan mengajak mereka berdiskusi lebih dalam, untuk mengklarifikasi apakah mereka benar-benar miskin. Setelah melakukan diskusi yang dalam, saya mendapati bahwa sebagian besar dari kita yang mengaku miskin menghabiskan lima ribu rupiah setiap hari, itu tahun 2000 an awal.

Kita mengabiskan, Rp 1.750.000 pertahun, dan ketika diteliti lebih lanjut, mereka mulai merokok rata-rata setelah lulus Sekolah Dasar atau pada usia 13 tahun. Kebudayaan kita, usia menikah antara usia 25-30 tahun, atau kita ambil saja umur 25 tahun usia pernikahan kita, jadi sejak merokok pertama sampai menikah, diantara kita sudah merokok selama 12 tahun, dan kita bayangkan selama 12 tahun kita membakar 21 juta rupiah. tambah ketika punya anak sampai pada usia kuliah 18 tahun, kita sudah membakar uang kita, 52 juta ketika anak kita masuk kuliah.

Ketika saya mendiskusikan ini lebih dalam, kami selalu tersadar, bahwa kita ini bukan orang miskin, kita dilimpahi berkat, karunia Yang Kuasa untuk bisa hidup di Indonesia ini. Ternyata selama ini berkat yang diberikan ini kita bakar untuk kesenangan kita sendiri. Seharusnya berkat kelimpahan ini kita wariskan ke generasi yang baru. 

Seharusnya berkat itu kita salurkan untuk dibelanjakan makanan bergizi untuk pasangan kita yang sedang mengandung, makanan bergizi buat pasangan kita yang sedang menyusui, anak-anak balita kita, untuk biaya sekolah anak-anak kita, untuk jaminan kesehatan keluarga kecil kita. 

Karena  semua itu lebih penting daripada candu onani psikologis, tekanan sosial rekan sepantaran kita, atau alasan-alasan lain yang pintar kita utarakan ketika berefleksi saat kita ditanya, kenapa kita terus membakar uang kita? bahkan play victim dengan bilang "saya miskin" ketika anggota keluarga kita sakit, tidak bisa sekolah dan kumal.

Memang terlepas dari belenggu candu diantara gencarnya pariwara industri rokok, tekanan pertemanan serta ketergantungan pada nikotin bukan hal yang mudah. Tapi hidup kita bukan hari ini dan disini, ada hal-hal yang perlu kita siapkan dimasa depan. Dan masa depan kita ditentukan oleh keputusan kita hari ini.

Seperti Bapak saya yang mengambil keputusan untuk berhenti merokok, supaya bisa menabung untuk biaya sekolah anak-anaknya. Hidup memang tidak mudah, tapi kemiskinan, sakit dan rendahnya tingkat pendidikan kadang-kadang bukan takdir, tapi karena kita salah mengambil keputusan di masa lalu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun