Mohon tunggu...
Harry Puguh
Harry Puguh Mohon Tunggu... Administrasi - Sustainability Profesional

Saya bekerja di lembaga swadaya masyarakat selama lebih dari 20 tahun dan sekarang bekerja dibidang sustainability

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Beti", Bukti Lebaran untuk Semua Orang

15 Juni 2018   20:12 Diperbarui: 15 Juni 2018   20:14 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebaran buat saya merupakan hari yang sangat istimewa, walaupun keluarga saya sudah tidak merayakan tetapi itu merupakan hari yang sangat istimewa di keluarga kami.Dalam kebiasaan adat desa kami di lereng gunung Sindoro, ketika lebaran tiba, kami keluarga besar akan mengunjungi terlebih dahulu anggota keluarga yang paling senior dan dituakan, masih ingat saya jaman masih kecil harus mengunjungi, Mbah, PakDe dan BuDe. 

semakin banyak keluarga senior yang masih hidup maka semakin banyak rumah yang harus dikunjungi, terlebih satu desa sepertinya semua saling berhubungan keluarga. jadi dalam satu hari bakalan mengunjungi seluruh rumah di desa yang kalau tidak salah ada 500 kepala keluarga dan semuanya menjadi keluarga pada saat lebaran.

Seiring berjalannya waktu, saat ini memasuki masa dimana Bapakku adalah orang paling senior dan dituakan di desa kami. maka Bapak saya akan menjadi magnet bagi seluruh keluarga di desa kami, dimana semua orang akan mendatangi rumah dia, dan harus bersiap-siap dengan uang lima ribuan untuk dibagikan ke anak-anak kecil. 

Praktis Lebaran hari pertama akan dilewati bapak dan ibu saya dirumah sepanjang hari, pada acara besar ini, bapak saya akan memakai peci dan sarung kesayangannya, selayaknya pengantin sunat :)

Dalam bahasa desa kami, mengunjungi anggota keluarga senior pada saat lebaran adalah 'beti', bisa jadi berasal dari kata 'Ngabekti' yang maknanya adalah sembah bakti kepada orang yang lebih tua dan berharap berkat dan pengampunan atas semua kesalahan.

saya membayangkan, tradisi ini sudah berjalan ratusan tahun, dan melewati rentang sejarah yang sangat lama, dimana masyarakat desa kami juga melakukan 'Beti' ini ketika mereka merayakan perayaan agama-agama mereka dimasa lalu, karena saya mencurigai, masyarakat desa kami telah melalui peralihan agama dari Hindu/Budha menuju masyarakat dengan rona Muslim. Hal ini bisa terlihat dari banyaknya peninggalan batu candi dan masih adanya Yoni dan Lingga di sekitar desa kami.

Lebaran-lebaran 5 tahun terakhir di desa kami bisa jadi menjadi tonggak peralihan desa kami bahkan menjadi sebuah revolusi senyap tentang perubahan sosial yang selalu mewarnai kehidupan masyarakat Jawa.

Masyarakat jawa yang terkenal dengan elastis dan fleksibilitasnya, membuktikan dengan bisa menerima perubahan yang terjadi dikeluarga kami, Bapak saya yang kristiani, menjadi perekat yang kuat bagi setiap anggota masyarakat desa yang semuanya muslim untuk 'Beti", tanpa embel-embel kafir, haram dan teriakan kebencian.

kalau kita berandai-andai, seluruh desa akan memeluk agama yang berbeda, saya yakin budaya 'Beti' gak akan berhenti, karena budaya menghormat orang yang lebih tua sudah terbukti mumpuni bertahan melewati jaman dan revolusi, dan ya, lebaran buat kita semua.

Mohon maaf lahir dan batin

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun