Mohon tunggu...
Sorot
Sorot Mohon Tunggu... Akun Resmi

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana Sorot digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel seputar rilis, serta kolaborasi dengan mitra. Email : sorot.kompasiana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pertumbuhan Tinggi dan Berkualitas, Mungkinkah?

6 Februari 2025   13:34 Diperbarui: 6 Februari 2025   13:34 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak tahun 2013 hingga 2024 angka yang rilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia berkutat di level 5 persenan. Data terbaru BPS menunjukkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,03 persn sepanjang tahun 2024. 

Dengan pertumbuhan ekonomi 5 persenan ini, belum menjadi pijakan yang memadai menuju high income country di tahun 2045. Presiden Prabowo Subianto menargetkan pada masa pemerintahannya, perekonomian nasional bisa tumbuh mencapai 8 persen.

 Mungkinkah hal itu tercapai?  Tentu saja obsesi beliau sangat mungkin tercapai, namun harus disertai dengan sejumlah perbaikan di sektor sektor strategis.

Disisi lain, kita juga perlu memberi pertimbangan kepada Presiden Prabowo, bahwa agenda pertumbuhan tinggi hendaknya menyertakan seluruh rakyat untuk menikmati kue ekonomi. 

Tidak ada yang tertinggal diantara mereka dalam pembangunan. Dengan demikian pekerjaan rumah kita ada dua hal, pertama; keluar dari jebakan pertumbuhan lima persenan, kedua; mengoreksi pertumbuhan ekonomi dengan model rembesan ke bawah (trickle down effect) yang diperkenalkan oleh Albert Hirschman, dan dijalankan oleh Presiden Ronald Reagen di Amerika Serikat (AS). Sejak oleh orde baru hingga kini kebijakan ini terus kita jalankan.

Model kebijakan ekonomi yang memberikan insentif ekonomi bagi kalangan atas, oleh Hirschman diyakini akan memberikan spillover effect positif. 

Asumsi ini mengandaikan, bila perekonomian kelas atas tumbuh karena berbagai kemudahan akan membuka lapangan kerja baru. Pilihan kebijakan seperti ini menyisakan masalah, sebab laju pertumbuhan ekonomi kelas atas yang mendapat insentif jauh lebih besar dibandingkan golongan menengah bawah. Menengah bawah hanya menerima rembesan ekonomi yang terbatas.

Angka statistik membuktikan angka rasio gini Indonesia tergolong tinggi dengan menjalankan model kebijakan trickle down effect. Rasio gini di akhir orde baru mencapai 0.33, dan kritikus ekonomi saat itu sudah membunyikan suara kesenjangan sosial kita tinggi. 

Paska orde baru hingga kini, rasio gini tidak pernah turun dibawah 0.33, bahkan pernah mencapai 0.437 di tahun 2013. Sepuluh tahun terakhir rasio gini di rentang 0,38 hingga 0,40, artinya kesenjangan sosial masih tinggi.

Pembuktian kedua bisa kita gunakan analisa Thomas Piketty tentang ketidaksetaraan terjadi bila kekayaan privat berkembang lebih cepat dari pendapatan nasional. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun