Mohon tunggu...
Sony Hartono
Sony Hartono Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Pria Yang Hobi Menulis

Kutulis apa yang membuncah di pikiranku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Parungpanjang Deritamu Kini

15 Agustus 2018   15:26 Diperbarui: 15 Agustus 2018   19:49 7630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan dan pepohonan berdebu sepanjang jalan raya Legok - Parungpanjang. Dokpri

Setelah lima tahun lebih nggak berkunjung ke daerah Parungpanjang, Kabupaten Bogor, Sabtu 14 Agustus 2018 kemarin aku berkesempatan 'napak tilas' petualanganku kala itu. Namun, kali ini aku ke Parungpanjang bersama temanku naik mobil, nggak naik motor seperti dulu kala, jadi lumayan nyaman lah, apalagi nggak aku sendiri yang nyetir, haha.....

Lima tahun berlalu, tentu bukan waktu yang singkat. Lima tahun untuk perkembangan suatu daerah biasanya menunjukkan perubahan yang sangat signifikan apalagi daerah yang relatif dekat dengan ibukota. 

Akses tercepat menuju parungpanjang dari ibukota tentunya dengan KRL. Waktu tempuhnya dari stasiun Tanah Abang ke Stasiun Parungpanjang kira-kira 51 menit (menurut jadwal KRL yang dirilis). Kalau, naik kendaraan pribadi berapa lama? Bagaimana kondisinya?

Dari kawasan Bintaro sektor 5, kami pun menuju tol Bintaro - BSD keluar di pintu keluar paling ujung. Menyusuri Boulevard BSD ke arah ICE, kami pun keluar dari kawasan BSD menuju daerah selatan ICE melalui jalan-jalan sempit yang akhirnya tembus ke jalan raya menuju Parungpanjang. Belum sampai Parungpanjang, kami sudah disergap kemacetan. 

Apa yang kupikirkan sebelumnya terkait kemajuan Parungpanjang yang mungkin sudah banyak berubah lima tahun terakhir ini mulai sirna. Pelan tapi pasti aku mengalami perjalanan yang hampir mirip dengan lima tahun lalu. Truk-truk besar mulai terlihat berseliweran di sisi kami. Debu berterbangan, sungguh tidak seperti daerah yang dekat dengan ibukota.

Sepanjang jalan raya Legok - Parungpanjang, jalanan tetap macet, bahkan tidak bergerak sama sekali selama beberapa menit. Untung aku berada di dalam mobil ber-AC jadi tidak kepanasan dan terbebas dari derita debu 'abadi'. 

Dari balik jendela mobil sambil diiringi lantunan musik radio, kuhanya bisa memandang miris ke arah luar, melihat para pengendara motor yang notabene masyarakat setempat menggunakan masker, bahkan tidak sedikit yang tidak memakai masker berkendara di belakang truk-truk besar pengangkut pasir, batu, ataupun tanah urug (bahan galian C) dengan hanya menutupi hidung mereka dengan tangan. Ya Tuhan..... apakah hal itu terjadi setiap hari selama ini? Sudah lima tahun berlalu hampir tidak ada yang berubah dengan kondisi di Parungpanjang.

Rumah di kanan kiri jalan dipenuhi dengan debu terutama bagian atapnya. Bahkan, pohon-pohon di kanan kiri jalan tidak lagi berwarna hijau melainkan berwarna kelabu karena penuh dengan debu. 

Kondisi itu diperparah dengan kondisi jalan di beberapa ruas yang mengalami kerusakan dan sedang dalam masa perbaikan sehingga menambah kemacetan yang sudah lumrah terjadi pada hari-hari biasa.

 Aku jadi membayangkan bagaimana kesehatan masyarakat di Parungpanjang terutama yang bermukim di sepanjang jalan yang dilalui truk-truk galian C itu? Bagaimana nasib kesehatan anak-anak mereka? bayi-bayi mereka? 

Bagaimana anak-anak bermain, kenapa tega merenggut keceriaan mereka, malah memberikan 'bonus' infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) kepada masyarakat yang bahkan tidak mendapatkan dampak positif sama sekali dari aktivitas ekonomi  keberadaan tambang galian C.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun