Mohon tunggu...
Sony Hartono
Sony Hartono Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Pria Yang Hobi Menulis

Kutulis apa yang membuncah di pikiranku

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Jangan Kau Renggut Ruangku dengan Gaya Hidupmu!

12 November 2017   11:32 Diperbarui: 28 Oktober 2018   13:11 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemacetan di salah satu sudut jalan ibukota (dok. pribadi)

"Keren, kreatif, menggelikan, sekaligus sebuah ironi!" Itulah yang terpikirkan saat pertama kali kulihat video ilustrasi betapa semakin sesaknya lalu lintas di kota besar sampai-sampai hampir tidak bisa bergerak. Sebuah ironi sudah terpampang jelas di depan mata kita. Seiring bertambahnya kelas menengah di negeri ini, sejalan pula dengan semakin naiknya standar hidup warganya. Naiknya standar hidup, tentunya diikuti kenaikan standar kenyamanan yang masyarakat harapkan, salah satunya soal transportasi.

Dulu ketika berangkat kerja rela naik angkutan umum, seiring naiknya karir dan bertambahnya gaji, mulailah membeli mobil. Tidak hanya dipakai saat akhir pekan, liburan, ataupun mudik, banyak masyarakat kelas menengah yang lebih suka menggunakan mobil untuk ke kantor demi sebuah kenyamanan yang tidak mereka dapatkan jika naik angkutan umum. Tentunya dengan alasan naik mobil waktunya bisa lebih fleksibel, lebih nyaman tidak perlu berdesak-desakan, dan bonusnya bisa menaikkan prestise. Gambaran itulah yang mempresentasikan mayoritas kelas menengah di kota-kota besar negeri ini, terutama Jakarta.

Sadar ataupun tanpa disadari, situasi seperti ini kalau dibiarkan terus menerus akan memicu suatu dampak yang luar biasa, yaitu kemacetan parah ditambah dengan polusi udara yang mengancam. Sebuah ironi memang, di satu sisi masyarakat menengah ingin menaikkan standar kenyamanan dengan naik mobil pribadi, di sisi lain mereka berkontribusi menambah semakin tidak nyamannya berkendara di jalan raya. Alih-alih kenyamanan yang didapatkan, justru kenyataannya stres akibat kemacetan yang semakin bertambah parah dari hari ke hari.

Kita patut mengacungi jempol bagi pemerintah yang membangun fasilitas transportasi lebih bagus dan manusiawi. Namun, sampai saat ini kondisi transportasi publik yang ideal belum tercipta sepenuhnya. Nah, fenomena inilah yang ditangkap oleh UBER sebagai suatu peluang sekaligus tantangan untuk menciptakan kondisi lalu lintas di perkotaan yang semakin baik alias mengurangi kemacetan.

Start Up fenomenal ini menjembatani permasalahan tersebut dengan konsep ride sharing. Konsep yang sebenarnya sudah lama kita kenal, tetapi dengan modifikasi dan dikombinasikan dengan teknologi informasi mobile saat ini, mampu menjadi jawaban bagi permasalahan transportasi di kota-kota besar dunia. 

Nebeng teman ataupun berangkat bareng-bareng menuju ke kantor sudah sering kita praktekan sehari-hari, dan ternyata hal tersebut punya kontribusi yang luar biasa. Jika satu dua orang saja yang melakukan hal itu mungkin tidak ada efeknya, tapi coba bayangkan jika 1000 orang, 10.000 orang, atau 100.000 orang melakukan hal itu, berapa banyak ruang lebih yang tersedia di jalan sehingga kemacetan pun bisa dihindari.

Kita semua tentunya tidak mau 'mati tua' di jalan, hanya karena disergap kemacetan ibukota tiap hari. Kita juga tidak mau kan anak-anak kita nantinya juga mewarisi 'kutukan' ketidaknyamanan berlalu lintas yang kita ciptakan sendiri. Tentu kita ingin pergi ke kantor ataupun kemana pun di berbagai sudut kota Jakarta dengan nyaman, tidak terjebak kemacetan.

Namun, apa daya pertambahan panjang ataupun lebar jalan tidak sebanding dengan laju pertumbuhan kendaraan pribadi. Transportasi publik pun perlu waktu yang tidak sebentar untuk berbenah dan menjadi lebih manusiawi, padahal standar kenyamanan warga kota sudah terlanjur naik. Lalu pantaskan kita selalu menyalahkan dan menuntut pemerintah untuk membenahi transportasi publik, menambah panjang jalan, membangun tol, menerapkan kebijakan ini itu yang memicu diskriminasi antar pengguna jalan raya. Apa mau terus-terusan seperti itu?

Perubahan harus dimulai dari diri kita masing-masing, mau nggak kita membingkai ulang pola pikir (mindset) kita tentang transportasi. Misal, jika kita sekarang termasuk kelas menengah, kita mencoba mulai merubah mindset kalau menggunakan kendaraan umum itu bukanlah suatu hal yang memalukan atau menurunkan gengsi, tetapi merupakan gaya hidup orang keren plus malah kita bisa lebih berhemat. 

Berapa liter bensin tiap hari yang kita buang percuma ketika terjebak kemacetan saat berangkat dan pulang kerja. Misalkan saja saat macet pulang pergi kantor katakanlah 2 liter bensin kita menguap percuma. Sebagai simulasi misalkan harga per liter bensin RON 88 Rp6.500,- (2 liter = Rp13.000,-) kalikan saja dengan 22 hari kerja dalam sebulan selama setahun ketemu angka Rp3.432.000,-. Nominal uang sebesar itu kalau dibelikan emas 24 karat bisa dapat 5 gram lebih tuh, lumayan...... Padahal kondisi faktualnya mungkin kita bisa lebih banyak 'membakar' uang daripada simulasi tadi. 

Kalau pakai bensin RON 90, 92, 95, bahkan 98 pasti semakin besar uang yang kita 'bakar' percuma hanya untuk sekedar menuruti gaya hidup kita yang memuja kenyamanan semu berkendara mobil pribadi. Kan lebih asik kalau uang yang bisa kita hemat itu untuk alokasi dana liburan akhir tahun bersama keluarga tercinta. Asik kan...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun