Waktu saya masih kecil, beberapa kali orang tua saya membawa saya sekeluarga ke Aceh untuk mengunjungi kerabat di sana. Jadi bagi saya, berkunjung ke Aceh bukan hal yang baru, hanya saja dulu yang saya datangi hanya sebuah desa di Aceh Tenggara. Akhir Mei 2015 lalu saya berkesempatan untuk melakukan perjalanan dinas ke Aceh, tepatnya ke kota Lhokseumawe di Aceh Utara.
Dari  Jakarta tidak ada penerbangan langsung ke Lhokseumawe, jadi saya harus transit dulu di Medan, dan melanjutkan penerbangan dengan pesawat jenis ATR. Maskapai yang terbang ke Lhokseumawe ini hanya Lion Air dan Garuda dengan jadwal sekali setiap hari secara bergantian antara 2 maskapai tersebut. Jadi saya memutuskan untuk memilih penerbangan sore ke Medan dan menginap di rumah saya dulu lalu keesokan harinya menumpang penerbangan siang ke Lhokseumawe.
Saya tiba sekitar pukul 11.30 di Bandara Malikussaleh, lalu segera menuju pusat kota Lhokseumawe untuk makan siang dulu. Jarak dari bandara ke pusat kota sekitar 45 menit, tapi jalanannya cukup bagus. Lhokseumawe ini berada di pesisir jalur timur Pulau Sumatera, jadi di beberapa titik jalan akan bersisian dengan laut.
Kunjungan saya sangat singkat di Lhokseumawe. Hari itu saya hanya mengunjungi proyek yang jaraknya sekitar 1 jam dari pusat kota Lhokseumawe. Sore sekitar pukul 4 hari saya sudah kembali ke kota Lhokseumawe. Kota Lhokseumawe memang tidak besar, tapi saya melihat kota ini cukup bersih dan banyak gerai merek makanan cepat saji maupun makanan khas Jawa yang terkenal ada di kota ini. Tapi menurut info yang saya dengar, tidak ada tempat karaoke dan bioskop di kota ini.
Memang peraturan syariat Islam dijalankan sekali di kota ini. Sepanjang jalan saya melihat semua wanita menggunakan jilbab, sehingga ketika saya masuk ke tempat umum seperti restoran, lobi hotel dan toko souvenir, semua orang melihat saya yang sama sekali tidak memakai penutup kepala. Tapi tidak perlu takut dengan peraturan tersebut, selama anda, wanita non muslim, datang dengan pakaian rapi dan sopan, tidak memakai penutup kepala tidak perlu dikhawatirkan. Isu soal GAM yang katanya banyak di Lhokseumawe pun tak perlu ditakuti, yang penting sebagai pendatang jangan bertingkah aneh.
Oh ya, pengungsi Rohingnya yang menurut berita banyak berlabuh di Aceh, salah satunya ada di kota Lhokseumawe ini. Saya sempat melewati sebuah bangunan menyerupai aula pertemuan yang dijadikan tempat penampungan para pengungsi asal Kamboja itu. Lucunya banyak orang lokal, bukan hanya penduduk asli Lhokseumawe, yang rela datang jauh-jauh ke tempat itu hanya untuk melihat para pengungsi.
Jadi jangan takut berkunjung ke Nangroe Aceh Darussalam, karena stigma menakutkan yang banyak diberitakan secara berlebihan oleh media massa. Buktinya saya aman-aman saja selama 2 hari dan 2 malam selama berada di sana, dan bisa melakukan aktivitas saya tanpa penutup kepala sama sekali.