Mohon tunggu...
sonny majid
sonny majid Mohon Tunggu... Dosen - Dream man dan penikmat kopi

Yang punya anggapan kalau Tuhan itu beserta orang-orang berani.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

KMA: Antarumat Beragama Sepakat Mengikat Janji Hidup Damai

7 Desember 2018   13:10 Diperbarui: 7 Desember 2018   13:56 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prof. Dr. KH. Ma'ruf Amin/ Indopos

SAMPAI detik ini kita masih disuguhkan tentang isu-isu bernuansa SARA dalam kehidupan bersosial masyarakat. Dalam konteks berinteraksi, Islam sendiri telah mengajarkan tentang bagaimana pola hidup (berhubungan dengan non Muslim). 

Pada kesempatan ini, saya ingin sedikit menyampaikan pandangan Kyai Ma'ruf Amin terkait hubungan Muslim dan non Muslim yang sempat sedikit saya catat, dari beberapa kali pertemuan saya dengan Kyai Ma'ruf, yang sampai hari ini masih menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).  

Diawali dengan penjelasan Kyai Ma'ruf yang mengungkap kajian literatur fikih. Dari kajian fikih tersebut kita bisa menemukan bahwa non Muslim adakalanya dikategorikan sebagai "kafir harbi" (yang boleh diperangi). Adakalanya dikategorikan "Kafir Dzimmi" (tidak boleh diperangi).

"Dari dua kategori tadi memiliki ketentuan masing-masing." Seperti ketentuan "kafir harby" lanjut Kyai Ma'ruf, hanya berlaku pada kondisi tertentu yang sangat terbatas. Ia menyontohkan perlawanan vis a vis antara Muslim dan non Muslim. 

Di luar atau selain dalam keadaan tersebut, maka yang berlaku adalah ketentuan "kafir dzimmi."

Lantas bagaimana dalam konteks di Indonesia kyai,? Karena rasa penasaran, saya memberanikan diri untuk bertanya. Kyai Ma'ruf menjawab, dalam konteks Indonesia, para ulama tidak memosisikan non Muslim dengan dua kategori tersebut. Kenapa demikian? Karena para ulama memahami Indonesia bukan merupakan negara agama (Islam).

Pandangan ulama di Indonesia, ditambahkan Kyai Ma'ruf adalah memilih posisi antar-umat beragama sebagai sesama warga bangsa, yang bersepakat untuk mengikat janji hidup damai di dalam naungan Bangsa dan Negara (mu'ahadah, muwatsaqah).

Jadi Islam menurutnya, mengakui eksistensi agama lain sebagaimana pada masa nabi juga diakui eksistensi agama selain Islam, antara lain Yahudi, Nasrani dan Majusi. 

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, setelah Proklamasi 1945, Islam memandang posisi umat beragama sebagai sesama bagian warga bangsa yang terikat oleh komitmen kebangsaan, sehingga harus hidup berdampingan secara damai.

Bagaimana dengan pola relasi di wilayah mayoritas muslim? 

Kyai Ma'ruf menjelaskan, terkait dengan pola itu, relasi antara umat Muslim dengan non Muslim di daerah mayoritas non Muslim, dalam arti Muslim menjadi minoritas, Allah Swt sudah memberikan panduannya di dalam Surat Ali Imron: 28, yang berbunyi, "Dan barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka....."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun