Mohon tunggu...
Soni Gunadis
Soni Gunadis Mohon Tunggu... Swasta -

Suka kebebasan berekspresi dalam menulis, dengan tetap menggunakan rasa dan jiwa anda dapat menemukan arti sebuah kehidupan realita sekaligus imaji yang sesungguhnya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ketika Tuhan Kuajak Kompromi

22 September 2016   05:39 Diperbarui: 22 September 2016   07:03 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pagi sekali seperti biasa (namamu) terbangun dengan bisingnya weker yang cukup membuat gendang telinga beresonansi hebatnya. Merambat pada titik syaraf menuju pusat, sesekali merangsang otot retina dengan ratusan bahkan jutaan volt memaksa terus tuk membuka sang kelopak. (Namamu) terperanjak seketika. Kemudian pandangan (namamu) alihkan ke segala penjuru mencari sumber suara berharap secepatnya terhenti. Setengah empat dini hari. Ya, (namamu) sengaja setting waktu jam weker untuk menumpahkan segala aspirasi dalam milyaran sel abu yang saling terkoneksi di kepala (namamu). Sesekali mengecek beberapa notif sosmed yang akhir-akhir ini memenuhi beranda.

(Namamu) scroll perlahan status demi status. Ada percintaan, kekecewaan, perdebatan, kebahagiaan atau mungkin mengupload beberapa foto selfie maupun groufie. Manusiawi memang--pikir (namamu). Pun beberapa share foto yang 'memaksa' untuk Like atau komen 'amin' agar masuk surga. Bodoh. Lucu memang, menggadaikan kepercayagun untuk sebuah Like atau komen yang ujung-ujungnya bisnis ladang duit bagi si empunya akun. Gila!

Wah ada berita apa lagi ini? Oh...ternyata si gadis keparat dengan sianidanya. Entah sudah berapa kali wacana ini hilir mudik cukup viral seantero maya. Tak bosankah negeri ini dicumbui media dengan binalnya? Seolah sang tikus negara dibuat menikmati setiap rangsangan dan klimaksnya. Arghh...Persetan!

Tuhan...lihatlah negeri kami, negeri dengan kekayaan melimpah. Negeri dengan budaya yang katanya diagungkan dunia. Bahkan negeri dengan salah satu 'penikmat' terbesar agama-Mu. Namun, lihatlah...banyak hamba-hamba yang mengabaikan-Mu. Pembunuhan merajalela, pemerkosaan sudah hal biasa, bahkan dengan cara yang semakin bergidik (namamu) dibuatnya. Sang perampok negera berjalan lenggang dengan segala kuasanya. Ah, hukum di negeri ini seolah tak ada wibawanya. Lembek. Bak permen karet yang telah lama (namamu) kunyah demi sebuah napsu sesaat. Mana undang-undang yang kalian sembah? Lihatlah...Si kaya bahagia, si miskin menderita. Bagai seonggok daging, mati membusuk di penjara. Hilang harapan, pupus sudah.

Astagfirullah...

Saat ini (namamu) seolah tak sanggup lagi menggoreskan pena untuk merangkai realita penuh luka. Menelusuri secerca harapan yang kata orang itu masih ada. Mungkin terlalu naif (namamu) memahami tentang segala keabsurdan negeri ini. Hanya saja (namamu) merasa muak dengan keadaan ini. Muak dengan omong kosong para penggila fana. Muak dengan para politikus yang menjubel di kolong-kolong jembatan, merangkak di lorong-lorong selokan tuk menjajakan janjinya demi sebuah empati. Yaiks...itu Menjijikan!

Sudaah... cukup Tuhan, cukup! (Namamu) tak kuat lagi berlama-lama terpenjara dalam jeruji nurani. Jeruji yang mampu mematahkan iman-iman kami. Cukupkan saja setetes rahmat-Mu untuk relung hati (namamu). Agar (namamu) mampu menampung puluhan, ratusan, bahkan jutaan kesabaran yang mengalir tiap sel dalam seonggok daging ini.

Tuhan...(namamu) tak ingin negeri ini Kau porakporandakan seperti negeri yang Kau abadikan dalam kalam-Mu, pun tak ingin seperti kaum yang Kau hujani azab demi azab, sekali tidak.

Kini (namamu) mulai meratapi, membajiri sisa-sia kepedihan yang amat teramat. Kau berikan semua nikmat-Mu namun (namamu) terkadang membuat-Mu kecewa, membuat-Mu cemburu.
Ya Malik, Ya Quddus, Ya Salaam...maafkanlah bila hati tak sempurna mencintai-Mu, Bukakanlah mata hati (namamu) bukalah mata hati para pemimpin-pemimpin kami. Kuatkanlah jiwa-jiwa rapuh yang ditindas ketidakberdayaan dengan ma'rifah dan ridho-Mu. Bila sujud (namamu) karna takut jahanam-MU, bakar (namamu) dengan apinya. Bila sujudku padamu karena firdaus-Mu
tutuplah pintu itu.
Namun bila sujud (namamu) demi Kau semata, jangan palingkan wajah-Mu. (Namamu) rindu menatap keindahan-Mu...

Sesekali nanar itu jatuh membasahi pelupuh mata, menerobos sela harapan yang terus terpompa dari sisa-sisa metaforgana. Kemudian (namamu) menarik raut pinggir pipi tuk mengulas sebuah senyuman. Dengarlah...wahai semilir angin, dalam ketakutan jiwa ini, Dia memanggil (namamu), "haya..'alla sholah..." yang itu artinya sebentar lagi Sang Ghofur akan menjawab semua keterpurukan (namamu). Keterpurukan yang siap mengoyak batin (namamu) setiap waktu, namun tidak dengan rahmat-Nya.

Tuhan, (namamu) begitu malu dan hina saat berkompromi dengan-Mu, namun (namamu) begitu bingung harus mengadu kepada siapa. Sementara Kau, siang malam selalu memperhatikan disetiap langkah (namamu). Begitu dekat sampai-sampai (namamu) tak menyadarinya. Pantaskah? Aku memohon selain-Mu? Pintaku Tuhan, tetap jaga iman-iman kami dari Sabang sampai Merauke dari timur ke pulau Rote, tetap jaga persatuan kami, tetap jaga negeri kami, ya...
tanah air tercinta-INDONESIA.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun