Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Migrasi Makin Gencar, Permukiman Tak Sesuai Standar

11 Desember 2017   20:33 Diperbarui: 11 Desember 2017   20:40 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah bukan hal yang asing lagi bahwa Indonesia memiliki jumlah penduduk dengan angka yang sangat besar. Meskipun laju pertumbuhan penduduk dapat ditekan dari tahun ke tahun, namun hal ini tidak membuat jumlah penduduk di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan bahkan jumlahnya terus mengalami peningkatan. 

Menurut data Bank Dunia Biro Sensus Amerika Serikat, sekitar tahun 1990 Indonesia memiliki populasi sebanyak 181,4 juta penduduk kemudian meningkat sebanyak 30,1 juta jiwa pada tahun 2010 sehingga berjumlah 211,5 penduduk. Pada tahun 2016 Indonesia memiliki total penduduk sebanyak 261,1 juta jiwa. Hanya dalam kurun waktu 6 tahun jumlah penduduk di Indonesia mengalami peningkatan sebanyak kurang lebih 50 juta jiwa.

Masalah-masalah yang timbul akibat ledakan jumlah penduduk ini salah satunya adalah minimnya lapangan pekerjaan. Hal ini mendorong terjadinya urbanisasi pada masyarakat, tidak hanya dari desa ke kota namun juga antar kecamatan di suatu daerah perkotaan. Seringkali perpindahan mereka yang dilatar belakangi harapan mendapat mata pencaharian yang layak tidak diimbangi dengan kemampuan dan pengetahuan yang cukup sehingga mengakibatkan angka kemiskinan dan pengangguran terus bertambah. Hal ini menjadi masalah baru bagi daerah tempat para pendatang ini berpindah.

Kurangnya pendapatan membuat mereka kesulitan dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari termasuk salah satunya adalah rumah. Hal ini berdampak pada berdirinya permukiman yang tidak sesuai standar. Salah satu contohnya adalah digunakannya daerah sempadan rel sebagai daerah permukiman. Pada Undang Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian pasal 181, dijelaskan bahwa sepanjang 6 meter jarak dari as rel kereta api harus steril dari kegiatan apapun. 

Sementara itu, bangunan harus didirikan dengan jarak 11 meter. Meskipun peraturan yang mengatur hal tersebut telah ada namun di Indonesia sendiri seringkali masih ditemukan permukiman di daerah sempadan rel kereta yang tidak sesuai ketentuan ini. Seperti misalnya Gang KA di jalan Ngagelrejo Kidul Kelurahan Ngagelrejo, Kecamatan Wonokromo, Kota Surabaya.

Permukiman yang mencakup RT 08 dan RT 13 RW 02 Kelurahan Ngagelrejo ini berada pada jarak 1,5 meter (terhitung dari pagar rumah ke rel kereta) dengan kedalaman 2,5 meter dari rel kereta. Sangat jelas bahwa permukiman ini tidak sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Menurut keterangan Bapak Catur selaku Ketua RT 13 Gang KA Kelurahan Ngagelrejo, mayoritas penduduk di Gang KA bukanlah warga asli Surabaya melainkan warga pendatang dari luar kota. Hal ini menunjukkan bahwa migrasi penduduk adalah salah satu penyebab adanya permukiman yang tidak sesuai standar ini.

                Dalam menyikapi hal ini perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Perlu ditingkatkannya ketegasan pemerintah dalam menerapkan peraturan yang telah ada. Tidak hanya sebagai upaya penegakan peraturan, tapi juga sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap keselamatan dan keamanan masyarakat. Tinggal di daerah sempadan rel berisiko besar terjadinya kecelakaan yang tidak dapat dihindari. Selain itu, debu dan polusi yang ditimbulkan oleh aktivitas lalu lintas kereta api juga dapat membahayakan kesehatan bagi masyarakat sekitar.

Untuk mengurangi angka penduduk yang bermigrasi ke perkotaan guna mencari pekerjaan, pemerintah dapat membuat pelatihan-pelatihan guna menambah keterampilan masyarakat. Dengan ini, diharapkan masyarakat tersebut tidak hanya dapat mencari pekerjaan yang layak tapi juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri sehingga dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka urbanisasi. Masyarakat dapat berperan aktif dengan ikut serta dalam pelatihan tersebut dan mencoba berwirausaha.

                Kesimpulannya adalah salah satu penyebab adanya permukiman yang tidak sesuai standar adalah banyaknya warga yang bermigrasi dari daerah asalnya menuju perkotaan dengan harapan mendapat pekerjaan yang lebih layak. Namun hal ini tidak diiringi dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga timbullah kemiskinan yang berdampak pada ketidakmampuan untuk memiliki papan yang layak. Pertambahan jumlah penduduk juga mengakibatkan lahan permukiman semakin menyempit. Diperlukan peran aktif dari pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi permasalahan tersebut. 

Referensi:

12

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun