Mohon tunggu...
Sombakudoro
Sombakudoro Mohon Tunggu... Nahkoda - silopsis

pernah ingin jadi penulis, saat menulis, ternyata lebih cocok jadi pemuka agama

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Judul dalam tahap kontemplasi

23 April 2021   14:15 Diperbarui: 23 April 2021   14:29 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

andai aku bisa lebih dari yang ibu pasrahkan,..”

            Dia mengakui, bahwa hidup sungguh sangat sia-sia untuk dijalani. Seharian, dia bisa habiskan menangis di pojok kamar, (yakali). Dia lelah, sungguh sangat lelah menjalani hari-hari bersama beban pembuktian melebihi berat badannya. Hampir semua mimpi indahnya ia kubur di tempat tak dikenal. Bila ia menggerutu, sesekali akan mengumpat “eheekk tahe” kemudian suara tawa kawan-kawannya akan meledak. Pada titik tak berdaya, dia akan memuja nietzsche sebagai gambaran umum realitas dengan mengedepankan mitologi sisifus. Menurut pengalamannya yang tidak seberapa, hidup ini adalah sebuah pengulangan yang tak akan berhenti selagi masih ada udara yang bisa dihirup. Bangun tidur – mengopi – berkhayal- bekerja – mengopi – tidur, aktivitas itu selalu berulang. Namun, saat tulisan ini sedang dibuat, dia sadar betul, bahwa intesitas pengulangannya banyak digunakan untuk mengopi. Sehingga, ia urungkan untuk sepakat penuh dengan nietzsche. Dia hanya akan sepakat pada nietzsche, “saat berada di posisi puncak kehidupan, engkau harus bunuh diri untuk memulai dari nol kembali”. Kalimat ini hampir sama seperti film Supernova, yang diangkat dari novel besutan dee lestari – ‘matilah sebelum mati’. Aduh, lelah juga seperti ini ya. Mencari kalimat-kalimat filosofis yang tidak ada habisnya untuk menambal fakta sia-sianya jadi manusia, bisakah kita sekedar hidup saja? tanpa harus perlu mencari makna dari segala sesuatu yang kita jamah?    “Bisakah ibu berhenti berekspetasi tentang masa depanku nanti?” pertanyaan itu selalu ia siapkan saat akan berhadapan dengan ibunya. Naas, itu tak pernah terjadi. Engkau tau kenapa? Mari sini mendekat, akan kubisikkan di telingamu, tapi kau harus janji untuk tidak menangis.

            Untuk hari ini, aku ingin sekedar hidup saja. Berhenti memperkeruh segala sesuatu yang menyangkut kehidupan; seperti berhenti membaca, berhenti mendengar lagu (kecuali lagu yesus), dan terakhir berhenti mendengarkan ucapan politisi. Tapi, kadang saat mengucapkan “aku mau menjadi apa yang kumau” aku keblinger mendefinisikannya secara sempurna. Apakah itu artinya aku menjadi sesuatu sesuai pengalamanku, apakah itu artinya aku menjadi sesuatu sesuai dengan tingkat kesuksesan dunia disingkat (u.a.n.g), atau apakah artinya aku tak mau melanjutkan hidup dengan jalani hari hanya untuk segelas kopi besok paginya? Abago, ngeri kali.

            Saat berusaha melanjutkan tulisan ini, aku teringat sebuah kisah yang ibuku sampaikan. Tapi mengenai kebenarannya, aku tak percaya, karena para saksi sudah lupa dan ketika mengingat sekalipun para saksi akan membenarkan sekedar untuk memuaskan perasaanku. Ibuku berkata “dulu nak, saat engkau masih berumur 3 tahun, kakakmu sering pura-pura dipukul oleh ayahmu, kemudian engkau akan memukul ayahmu sampai babak belur. Para pembaca yang terhormat, bisa anda bayangkan seorang anak laki-laki berumur 3 tahun menghajar ayahnya sampai babak belur? Aku tak tau, apa yang dipikirkan ibuku saat bercerita hal itu, aku sudah berumur 20 tahun, apakah dia masih menganggap aku seorang anak yang bodoh? Oh tuhan, tiap kali mengingat cerita itu, aku selalu tertawa. Seorang ibu memang selalu punya hal yang ditawarkan untuk menunjukkan seberapa hebat kita. HAHAHA

Sejujurnya, para pembaca yang budiman, tulisan ini sungguh tak punya arah apa-apa selain kesia-siaan untuk membacanya. Eh ada deh, tulisan ini adalah hal-hal yang tak lagi dapat dipetakan oleh bibirku. Bak kotoran, aku harus membuangnya. Aku percaya bahwa tempat membuang kotoran kehidupan terbaik adalah media, agar semua orang yang sekilas membaca akan menyadari bahwa tulisan tak laik ini berhasil mengiterupsi jiwanya, sehingga dia akan berpikir untuk bunuh diri, walaupun niatnya urung, setidak-tidaknya dia sudah berpikir.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun