OlehÂ
Sofiana Dewi Jayani, Dr. Eka Titi Andaryani, S.Pd., M.Pd.Â
Mahasiswi PGSD, Dosen PGSD FIPP Universitas Negeri Semarang
Indonesia emas 2045, suatu pernyataan dari Presiden Indonesia yakni Bapak Joko Widodo. Istilah ini digunakan negara Indonesia yang mana sudah menyatakan bahwa usia Indonesia sudah 100 tahun, yang mana menjadi harapan bahwa Indonesia sudah bertransformasi menjadi negara maju.Â
Bukan hanya harapan menjadi negara maju, di tahun 2025 ini memiliki suatu hal yang spesial dimana negara akan mengalami bonus demografi (terjadi peningkatan penduduk usia produktif) yang berakibat pada segala aspek di Indonesia baik dari perkembangan ekonomi bahkan perkembangan pendidikan di Indonesia.Â
Seperti yang kita tahu, zaman sekarang sudah semakin canggih bahkan sampai tercipta teknologi yang memiliki cara berpikir seperti manusia yakni Artificial Intelligence (AI). Apabila warga Indonesia hanya bisa melakukan pekerjaan kasar bukan bekerja cerdas dan yang rata - rata semua orang bisa melakukannya, maka akan berdampak pada lapangan kerja yang mana akan menerapkan upah yang kecil karena siapa pun bisa melakukannya. Hal ini bakal terjadi kalau misal kualitas pendidikan dan kualitas demografi Indonesia tidak seimbang atau lebih ditingkatkan . Lalu, siapkah Indonesia menghadapi bonus demografi dengan pendidikan yang ada?
Meskipun Indonesia menempati peringkat keempat setelah India, China, dan Amerika dalam sistem pendidikan terbesar di dunia. Apakah ukuran tersebut seimbang dengan kualitasnya? Pendidikan Indonesia saja mendapat peringkat 70 dari 79 negara dalam matematika, peringkat 67 dari 79 negara  dalam science, dan 66 dari 79 negara di reading yang mana tercantum dalam penelitian yang dilakukan oleh Programme for Internasional Student Assesment (PISA) 2021. Mengapa bisa separah ini ya? Apa yang salah di dalam pendidikan di Indonesia? Lalu bagaimana kita bisa memperbaiki kondisi ini?
Faktanya sektor pendidikan hanya berkontribusi sebesar 3,8 % untuk Indonesia, hal ini berbanding terbalik dengan anggaran yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah sampai 549,5 triliun atau 20% dari APBN. Hal ini sudah menggambarkan bahwa pengaruh dari pendidikan relatif rendah untuk Indonesia. Mengetahui hal ini, pemerintah juga tidak tinggal diam. Bahkan dari menteri pendidikan yang sekarang yakni Bapak Nadiem memiliki gagasan baru untuk perbaikan kurikulum. Beliau berharap dengan kurikulum baru ini akan membuat para pelajar di Indonesia dapat meningkat potensinya.
Hal ini tak jauh pula dari suatu ide dari publik figur yang kita kenal dengan banyaknya prestasi yang ia dapat yakni Maudy Ayunda, dalam video yang tersebar ia menyampaikan impiannya dalam memperbaiki pendidikan di Indonesia. Jika ia menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan, ia ingin menghilangkan salah satu bentuk assesment (evaluasi pembelajaran) yakni sistem pilihan ganda atau multiple choice dan menggantinya dengan open ended question (jawaban terbuka). Menurutnya dengan sistem pilihan ganda dihilangkan dan diganti, maka murid dapat memberikan jawaban yang kritis dan guru akan memperbaiki cara mengajarnya, serta mengubah bagaimana orang tua memberikan motivasi atau tindakan untuk mendorong minat anaknya.
Idenya ini terlihat lebih terfokus pada bagaimana mengubah cara berpikir para murid dengan tidak memberikan suatu pilihan atau sistem penyaringan yang mana murid akan terdistraksi dengan metode belajar hafalan. Dengan dihapuskan pilihan ganda ini membuat murid lebih berekspresi dalam memberikan jawaban mereka, ini juga akan melatih kemampuan dalam berpikir kritis. Selain itu, dengan penghapusan sistem pilihan ganda maka akan mengubah juga cara guru dalam mengajar.Â
Mereka tidak lagi menekankan pada hafalan para murid, tetapi penalaran pada muridnya. Guru akan lebih menilai berpikir kritis dan analisis dari murid tersebut. Maudy pun memiliki misi terbesar lagi jika ia menjadi menteri pendidikan, ia ingin membudayakan cinta belajar di Indonesia. Menurutnya ini bisa menjadi revolusi bagi Indonesia.