***
Bayu dan anak-anak sudah tertidur lelap tatkala Lina perlahan bangkit dari atas tempat tidur mereka dan beranjak keluar kamar. Ia berjalan menuju ke kamar tidur satunya. Ruangan berukuran tiga kali empat meter itu selama dua tahun terakhir menjadi tempat pribadinya di larut malam untuk membaca buku, browsing internet, ataupun menulis cerpen. Karyanya banyak diterbitkan oleh redaksi majalah wanita ibukota.
Itulah me time yang sangat dinikmatinya. Seorang diri dalam keheningan malam. Melakukan aktivitas yang disukainya gua nmelenyapkan segala penat yang dirasakannya setiap hari dalam mengurus anak-anak dan rumah tangga.
Bermula ketika putra sulungnya, Eddy, menginjak usia empat tahun dan adiknya, Luki, berumur tiga tahun. Jarak usia keduanya yang terlalu dekat membuat Lina seringkali kewalahan menghadapi proses tumbuh-kembang mereka seorang diri. Yah, karena suaminya lebih sering berada di kota kecil tempatnya bekerja sebagai manajer pemasaran pengembang properti kelas menengah. Rumah-rumah dan ruko-ruko yang dipasarkannya laris-manis sehingga perusahaan giat mengembangkan propertinya di lahan-lahan sekitar kota itu.
Sempat terpikir olehnya untuk membawa kedua anaknya untuk pindah saja mengikuti suaminya. Tetapi kemudian ia mengurungkan niatnya begitu psikolog sekolah mendiagnosa Luki menyandang ADHD (Attention Deficit and Hyperactive Disorder-Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif). Putra bungsunya itu membutuhkan serangkaian terapi intensif untuk melatih konsentrasi dan mengendalikan hiperaktivitasnya. Di Surabaya ini cukup banyak pilihan tempat terapi yang bagus. Jauh berbeda dengan kota kecil tempat suaminya bekerja yang belum memiliki fasilitas memadai untuk pemantauan tumbuh-kembang anak.
Pada mulanya dirinya sangat bersemangat mendampingi Luki menjalani sesi-sesi terapi. Segala informasi tentang ADHD dilahapnya. Mulai dari browsing internet, membaca buku-buku, mengikuti seminar-seminar, hingga bergabung dengan grup media sosial khusus buat orang tua anak penyandang ADHD.
Kadangkala dirinya meminta bantuan Mbak Ipah, pembantu warnennya, untuk menjaga Eddy di rumah apabila hendak mengantarkan Luki terapi. Ketika suaminya pulang ke rumah pada akhir pekan, barulah dia bisa meninggalkan kedua anaknya untuk mengikuti seminar tentang ADHD. Karena hanya Bayu atau Lina yang sanggup mengawasi Eddy dan Luki sekaligus di rumah. Mbak Ipah sudah menyatakan ketidaksanggupannya menjaga kedua putranya itu bersamaan. Ia tidak memiliki wibawa yang tinggi untuk membuat Luki menurut agar tidak berlarian kesana-kemari, mengacak-acak barang-barang hingga berantakan, ataupun memanjat pagar rumah untuk pergi bermain di luar.
Setelah dua tahun berjibaku dengan segala upaya untuk memperbaiki perilaku Luki, akhirnya perempuan berkulit kuning langsat itu merasa kelelahan. Jiwa-raganya letih luar biasa karena ia bisa dibilang nyaris seorang diri memperjuangkan buah hatinya itu. Sang suami terlalu sibuk dengan pekerjaannya di luar kota sehingga sulit diajak bertukar pikiran mengenai perkembangan anak-anak, terutama Luki. Dana yang dikeluarkan untuk biaya terapi, les, dan suplemen Luki yang jauh melebihi anggaran untuk anak normal, tetap berusaha dipenuhi oleh Bayu dengan bekerja lebih keras dan jarang pulang ke rumah. Awalnya yang seminggu sekali pulang, berangsur-angsur molor menjadi dua minggu sekali, dan pernah bahkan cuma sebulan sekali.
Bersambung